
Kasus langka dialami oleh seorang wanita berusia 36 tahun asal Michigan, Amerika Serikat. Dia terobsesi dengan bau dan ingin mencicipi bubuk pemutih pakaian.
Peristiwa bermula ketika wanita yang identitasnya dirahasiakan itu datang ke instalasi gawat darurat setelah mengalami sesak napas parah, nyeri perut, dan kelelahan selama seharian. Riwayat kesehatannya cukup kompleks, dia mengalami obesitas, sleep apnea, kekurangan vitamin, hingga gangguan psikiatri seperti kecemasan, depresi, dan PTSD.
Sebelumnya, pasien ini sempat dua kali dirawat di rumah sakit akibat gangguan mental. Namun belakangan kondisinya cukup stabil berkat terapi antidepresan harian dan suntikan antipsikotik bulanan.
Pasien sudah diberi oksigen dalam perjalanan ke rumah sakit. Sesampainya di IGD, dokter langsung melakukan transfusi darah berulang karena hasil laboratorium menunjukkan anemia berat, kondisi ketika tubuh kekurangan sel darah merah untuk membawa oksigen.
Pemeriksaan darah juga memperlihatkan kadar hemoglobin dan trombosit sangat rendah. Foto rontgen jantung menunjukkan pembesaran, tanda organ tersebut bekerja ekstra akibat kurangnya kapasitas darah mengangkut oksigen.

Tes nutrisi pun dilakukan. Hasilnya, kadar zat besi dan folat normal. Namun, vitamin B12 yang penting untuk pembentukan sel darah merah ternyata sangat rendah. Tes lanjutan menemukan antibodi yang mengganggu penyerapan vitamin B12 dalam tubuhnya.
Temuan itu konsisten dengan anemia pernisiosa, kondisi autoimun langka ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel lambung yang dibutuhkan untuk menyerap vitamin B12. Kekurangan B12 jangka panjang bisa memicu gangguan kognitif, perubahan perilaku, hingga gejala psikotik.
Karena pasien punya riwayat gangguan mental, tim dokter IGD juga melibatkan psikiater. Saat itulah ia mengaku memiliki kebiasaan aneh selama sebulan terakhir, yakni mencicipi bubuk pemutih rumah tangga dua hingga tiga kali sehari.
Ia bercerita, dirinya suka dengan bau tajam dan tekstur kasar bubuk itu. Caranya, ia menjilat jari, mencelupkannya ke bubuk, memasukkan ke mulut, mengaduk sebentar, lalu meludahkannya tanpa pernah menelan.
“Pasien tidak merasa khawatir maupun terganggu dengan perilakunya, tetapi menyampaikan bahwa keluarganya menunjukkan kekhawatiran yang cukup besar,” tulis dokter dalam laporannya di jurnal Case Reports in Psychiatry.

Perilaku ini mengarah pada pica, gangguan ketika seseorang mengonsumsi atau mencicipi benda yang bukan makanan, misalnya tanah, es, atau benda lainnya. Dalam kasus ini, dorongan tersebut tampaknya berkaitan langsung dengan anemia akibat defisiensi vitamin B12.
Pasien dirawat intensif di ICU dengan transfusi darah untuk menstabilkan kondisi dan mengurangi beban jantung. Setelah stabil, ia diberi suplemen vitamin B12 dan obat pengurang asam lambung. Ia juga setuju menjalani endoskopi untuk memeriksa adanya radang lambung.
Dokter menekankan bahwa anemia pernisiosa membutuhkan suplementasi B12 seumur hidup agar defisiensi tidak kambuh dan gejala psikiatri berkurang. Sayangnya, setelah keluar dari rumah sakit, pasien tidak pernah kembali untuk kontrol, sehingga tidak diketahui apakah ia melanjutkan terapi atau sembuh.
Biasanya, pica dikaitkan dengan kekurangan zat besi atau seng. Namun dalam kasus ini, penyebabnya adalah defisiensi vitamin B12, yang oleh para dokter disebut sebagai kasus pertama yang tercatat dengan latar anemia B12.
Laporan juga menyoroti varian langka pica bernama desiderosmia, yaitu ketika dorongan awal lebih dipicu oleh aroma daripada rasa.
Kasus ini mengingatkan bahwa psikiatri dan kedokteran harus berjalan beriringan. Dengan riwayat gangguan mental, perilaku pasien ini bisa saja dianggap murni masalah psikologis. Namun kenyataannya, ada penyakit serius tersembunyi di baliknya.
Para dokter menegaskan, perubahan perilaku seperti ini harus mendorong evaluasi medis menyeluruh selain pemeriksaan psikiatri, karena bisa menjadi petunjuk pertama adanya penyakit berbahaya yang mengancam nyawa.