
Tulisan ini dibuat untuk mengapresiasi seluruh nakes yang tetap bekerja di tengah keterbatasan, tetap hadir meski di titik nadir.
Curhatan mereka bukanlah keluhan, hanya sekadar pelepas penat untuk kembali kuat.
Kadang, hati yang kuat pun butuh ruang untuk rapuh.
“Malam Itu, Kami Semua Pasien; Lelah, Mabuk Laut, dan Basah”
Malam itu, pasien datang mendadak, saya masih menggunakan celana pendek dan kaus putih tipis untuk tidur ketika menyiapkan dan mengantar pasien sampai speed boat.
Pasien tersebut perlu dirujuk ke RSUD. Waktu tempuh perjalanan menuju RSUD sekitar 3 jam perjalanan laut menggunakan perahu penghubung milik masyarakat, beruntung terdapat speed boat Puskesmas sehingga perjalanan bisa ditempuh sekitar 1 jam.
Rencana awal, seorang nakes yang akan mengantarkan pasien. Tapi tepat sebelum berangkat, nakes tersebut mengajak saya dari dalam speed boat, “Dok, ayolah dok temani saya, saya sendirian dok, dan mabuk laut juga”. Saya menangkap kekhawatiran nakes tersebut.
“Ayolah dok, temani saya”. Nakes itu meminta lagi dan akhirnya saya luluh juga, ikut berangkat mengantar mengenakan pakaian seadanya. “Bolak balik hanya 2 jam”, pikir saya.
Saat itu suasana di laut gelap, mungkin karena awam mendung. Saya melihat posisi nakhoda tampak tidak nyaman, posisi berdiri dengan kepala terjulur keluar di jendela samping kapal, sambil memegang kemudi berbentuk bulat.
“Kapal baru dok, saya tidak bisa melihat melalui jendela depan”, nakhoda yang juga warga pulau menjelaskan situasinya. Beberapa kali kapal terhenti karena menabrak karang, beruntung laju kapal masih belum terlalu cepat.
Tidak berapa lama hujan turun cukup deras dan ombak mulai meninggi. Seolah bekerja sama, air laut dan air hujan berusaha menggapai kami, berlomba siapa yang lebih cepat membasahi pakaian.
Seperti mendapatkan mainan baru, ombak juga tanpa ragu menguji kapal kami, ombak semakin tinggi, kapal semakin bergoyang, saya sempat melihat kilatan petir di ujung horison. Terlintas dalam benak, hal ini mirip seperti di film-film Holywood bertema bajak laut ketika badai”.
Rekan tim yang sedari tadi terlihat lemas karena mual, kini mulai panik, ia mulai membagikan life jacket untuk saya, dan 2 orang keluarga pasien. Saat itu saya masih tenang, sampai ketika goyangan speedboat semakin keras, saya mulai mual.
Setelah melakukan pemeriksaan terhadap kondisi pasien, saya lalu berbaring di dekat kaki pasien, saya tumbang karena mabuk laut ditambah kedinginan karena pakaian basah.
Sudah tidak jelas siapa yang menjadi pasien, kami semua berbaring di speed boat, kecuali nakhoda. “Ombaknya lumayan besar ya dok”, ujar keluarga pasien yang juga berbaring
Molor hampir 3 jam dari perkiraan awal 1 jam, kami tiba di pelabuhan. Kami bersyukur bisa melihat daratan dan pasien bisa sampai ke RSUD untuk mendapatkan pelayanan lebih lanjut.
“Dok, kita kembali ke pulau besok pagi saja ya”, ujar nakhoda. Ia menjelaskan dirinya yang kelelahan dan kondisi laut yang sepertinya kurang bersahabat pada malam itu.
Kami setuju, belum hilang trauma membayangkan perjalanan tadi. Malam itu saya menumpang di tempat teman.
Trauma merujuk pasien, membuka curhatan nakes
Keesokan paginya kami bersiap kembali pulau. Pagi itu cuaca cerah, angin segar dan ombak tenang. Saya, rekan nakes dan nahkoda kembali ke pulau.
Berdiri di pinggir dek speed boat sembari melihat pemandangan laut, kami membahas perjalanan semalam. “Tumben, tadi malam tidak mabok duluan”, saya berkelakar kepadanya.
Ia menjawab. “Kata siapa dok, itu sebetulnya saya sudah mabok duluan sejak kapal beberapa kali menabrak karang. Ketika hujan dan ombak meninggi saya sudah sangat mual”.
“Ketika itu, saya sudah menjulurkan kepala keluar jendela untuk menguras isi perut, namun saya melihat di hadapan saya ombak yang sangat tinggi, melebihi kapal kita. Seketika rasa mual saya hilang berganti takut”. ia meneruskan ceritanya. Dan saya hanya terkekeh mendengarnya.
“Orang sini saja tidak mau bertugas di tempat kita..”
“Orang sini saja tidak mau bertugas di pulau kita”, begitu komentar yang tiba-tiba muncul. “Kita orang luar yang tidak tahu medan, yang kemudian ditempatkan di sini, Susah lah dok hidup di pulau, apalagi untuk pendatang seperti kita, kita orang darat tidak biasa di pulau, cara hidup kita berbeda dengan penduduk pulau”. Ia melanjutkan ungkapan kegelisahannya.
Saya teringat berita di televisi tentang kamar khusus penghuni lapas yang terlihat mewah. Saya memahami konsep lembaga pemasyarakatan yang berfungsi membina warga binaan agar bisa kembali ke masyarakat, mereka mempertimbangkan latar belakang warga binaan dengan memberikan sel khusus.
Di tempat terpencil ini, nakes dengan berbagai latar belakangnya dituntut beradaptasi dengan cepat untuk hidup. Perbedaan pola hidup merupakan stressor yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan mengguncang mental.
Saya merenungkan kembali perkataan nakes itu, mungkin ada benarnya, saya melihat penduduk lokal di kabupaten sangat sedikit yang berminat ditugaskan di pulau tersebut.
Sepi peminat, menyebabkan jumlah nakes yang tersedia kurang dari standar yang diharapkan. Kombinasi kekurangan personil dan keterbatasan fasilitas dan infrastruktur menambah beban berat pekerjaan yang dihadapi nakes di wilayah terpencil.
Sesuai namanya, pulau terpencil, lingkungan yang menimbulkan rasa terisolasi dan diabaikan
“Merujuk pasien saja sudah seperti mengantar nyawa. Perhatian pemerintah kurang, mereka tidak tahu apa yang kita rasakan disini, mereka hanya berpikir urusan selesai dengan memberikan tunjangan kemahalan, lalu menuntut kita sama dengan mereka yang ada di darat, “Rasanya, bila masih bisa memilih hidup di darat, saya lebih memilih di darat”. Saya diam, mendengarkan, membiarkan setiap kata yang keluar dari ruang hatinya, selama ini mungkin tersimpan dan dikunci atas nama pengabdian dan keikhlasan. Saya berharap beban di hatinya sedikit berkurang dengan bercerita.
Mencoba meraba rasa dari setiap bulir kata, resonansi perasaan terabaikan, perasaan terisolir, dan isu rasa aman, menyentuh dan memberi getaran di ruang pikir dan hati saya.
Saya jadi ingat keluhan teman tentang keterbatasan dan keterlambatan akses informasi untuk pengembangan profesional. “Pernah ada sih tawaran untuk lanjut sekolah, tapi batas akhir pengiriman berkasnya besok, mana sempat kita disini mengejarnya”. Rasa frustrasi yang bertumpuk tentang kekhawatiran mengenai nasib di masa depan seolah tidak ada yang mendengar dan dilupakan.
Dua Dapur, Dua Dunia; “Dilema pengabdian dan tanggung jawab keluarga”
Nakes lainnya punya cerita berbeda, ia sudah menikah dan memilih hidup dengan dua dapur. Ia tinggal di pulau sedangkan istri dan anak balitanya di daratan. Ia memilih hal tersebut, karena mempertimbangkan lingkungan dan pendidikan terbaik untuk anaknya
Hidup terpisah, ada harga yang perlu dibayar. Biaya hidup menjadi lebih tinggi, tunjangan kemahalan terkuras biaya mobilitas untuk sekadar bertemu dengan keluarga. Kebersamaan dengan orang tercinta, melihat anak tumbuh adalah harga mahal yang tidak tergantikan.
Syukurlah ia tidak “macam-macam”, karena dalam pencegahan infeksi menular seks dan HIV dikenal istilah “Mobile Men with Money”, aspek sosial lain yang juga perlu untuk dipertimbangkan.
Refleksi upaya pemenuhan tenaga kesehatan di wilayah terpencil
Mendengar berbagai cerita nakes di tempat terpencil, kompensasi atau insentif dalam bentuk apa pun ternyata masih dirasakan belum optimal untuk memastikan bekerja menetap di lokus-lokus yang tidak diminati dan wilayah terpencil.
Saya membandingkan dengan seorang teman yang bekerja lokasi pertambangan maupun kilang minyak di laut. Meskipun isu terkait kebersamaan keluarga tetap muncul, tapi saya heran karena peminatnya banyak.
Mendengar dari teman tersebut, ia bercerita bahwa; gajinya cukup besar, mereka dijadwalkan on-0ff (dalam jangka waktu tertentu mereka secara rutin dapat pulang), terdapat jaminan mobilitas untuk pulang dan menuju lokasi pekerjaan, beban kerja di situs pertambangan pun tidak bertambah akibat kurang personil karena sudah memperhitungan jumlah personil ketika menjalankan mekanisme on-off, dan berbagai fasilitas lainnya untuk menjamin keluarga dapat hidup sejahtera.
Satu kesamaan di antara kedua hal di atas adalah; “Tidak hanya uang”, aspek sosial dan sisi kemanusiaan juga perlu dipertimbangkan.
Upaya Pemerintah untuk mengatasi gap
Saat ini, nakes di Indonesia, mungkin belum merasakan skema yang tepat dan menjawab kegelisahan mereka, tapi saya juga tidak dapat menafikan bahwa pemerintah sudah bergerak dan menunjukkan kepedulian mengenai upaya perbaikan atas kondisi yang terjadi.
Isu pemenuhan hak dasar warga negara terhadap akses kesehatan selalu beriringan dengan isu tenaga kesehatan yang bertugas. Isu ini selalu muncul dan menjadi prioritas nasional di dalam pembahasan forum perencanaan bidang kesehatan. Tuntutan inovasi skema untuk wilayah terpencil selalu ditanyakan dan dikawal agar tidak terlupakan.
Secara pribadi, saya juga melihat adanya proses perbaikan. Saya ingat dulu seorang senior yang bekerja di wilayah terpencil dan konflik mengatakan gajinya baru dibayarkan setelah 6 bulan, itupun ada pemotongan. Hal ini tidak terjadi pada periode ketika saya bekerja, gaji dibayar penuh dan tepat waktu dengan insentif yang lebih baik dibandingkan senior saya.
Perbaikan dalam pemenuhan aspek psikologi, sosial dan keamanan juga terlihat. Saya membandingkan dengan situasi ketika dulu berangkat seorang diri ke wilayah antar berantah tanpa satu orang pun yang saya kenal, saya ingat menumpang mobil bak terbuka bersama para biduan dan personel organ tunggal untuk menuju lokasi tugas. Saat ini pengiriman nakes sudah dalam bentuk tim, adanya pembekalan sebelum pemberangkatan, dan pengawalan sampai lokasi tugas untuk diterima oleh masyarakat setempat.
Semoga perbaikan ini dapat terus berkelanjutan.
Penutup
Cerita ini bukanlah sebuah keluhan, melainkan sebuah refleksi yang mungkin menjadi gambaran kecil permasalahan pemenuhan tenaga kesehatan di wilayah terpencil.
Saya menyadari saat ini mungkin masih ada ruang-ruang yang belum terisi, tapi saya percaya kita akan sampai tujuan, selama kita tidak berhenti.
Dan sampai saat itu tiba, kesabaran, keteguhan, dan selalu mengingat alasan kita di sini, adalah modal penguat untuk terus berdiri.