
Di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, setiap sore belasan anak duduk lesehan di ruangan sederhana. Mereka belajar membaca, berhitung, dan menulis bersama beberapa relawan muda. Tak ada seragam, tak ada bel tanda istirahat tapi semangat belajar mereka tak kalah dari siswa sekolah formal. Tempat itu bernama Rumah Belajar Pelita Hati, salah satu contoh sekolah alternatif yang menjadi harapan bagi anak-anak yang tersisih dari sistem pendidikan formal.
Fenomena seperti ini semakin sering kita temui. Sekolah alternatif, homeschooling, atau komunitas belajar nonformal kini tumbuh di berbagai kota. Ia hadir untuk menjawab realitas bahwa tidak semua anak punya akses yang sama terhadap pendidikan formal. Ada yang terhalang ekonomi, ada pula yang merasa sistem sekolah konvensional tak sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka.
Menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) tahun 2025, terdapat lebih dari 4,1 juta anak usia 7‑18 tahun yang tidak atau belum sekolah serta telah putus sekolah. Alasan utamanya beragam: biaya, jarak, hingga tekanan sosial. Di sisi lain, muncul gerakan masyarakat yang berusaha mengisi celah itu melalui pendidikan alternatif dengan semangat kesetaraan dan kemanusiaan.
Sekolah Tak Selalu Berarti Gedung dan Seragam
Dalam konteks sosiologi pendidikan, pendidikan informal dan nonformal punya peran penting sebagai pelengkap bahkan penyelamat bagi mereka yang tak tersentuh sistem formal. Sosiolog Émile Durkheim melihat pendidikan sebagai alat sosialisasi utama yang mentransmisikan nilai dan norma sosial. Namun, ketika sekolah formal gagal mencakup semua lapisan masyarakat, fungsi sosial itu bisa diambil alih oleh bentuk pendidikan lain yang lebih fleksibel.
Misalnya, di beberapa kota besar, muncul komunitas belajar jalanan yang mengajar anak-anak pekerja atau anak pemulung. Mereka mungkin tak mendapatkan ijazah resmi, tapi memperoleh sesuatu yang lebih mendasar: kemampuan membaca, menulis, dan rasa percaya diri. Sementara itu, di kalangan menengah, homeschooling menjadi alternatif bagi orang tua yang ingin pendidikan lebih personal, menyesuaikan dengan karakter dan kecepatan belajar anak.
Kritik terhadap Sistem Pendidikan Formal
Sekolah formal sering dipuji sebagai jalan utama menuju mobilitas sosial, tetapi teori reproduksi sosial Pierre Bourdieu menunjukkan sisi lain: bahwa pendidikan juga bisa memperkuat ketimpangan kelas. Sekolah menilai anak berdasarkan “modal kultural” kemampuan, bahasa, dan kebiasaan yang umumnya dimiliki oleh kelas menengah ke atas. Akibatnya, anak dari latar belakang ekonomi rendah sering kali dianggap “tidak berprestasi” bukan karena kurang pintar, tetapi karena sistem tidak mengenali nilai dan konteks sosial mereka.
Dalam situasi ini, sekolah alternatif hadir sebagai bentuk perlawanan halus terhadap sistem yang homogen. Ia memberi ruang bagi setiap anak untuk belajar sesuai dengan pengalaman dan dunianya. Seorang anak pekerja misalnya, bisa belajar berhitung lewat jualan di pasar, atau memahami literasi lewat cerita tentang kehidupannya sendiri.
Belajar untuk Hidup, Bukan Hanya untuk Ujian
Sosiolog Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan sejati harus memerdekakan, bukan menundukkan. Sekolah alternatif mencerminkan semangat itu: guru dan murid belajar bersama, bukan dalam relasi hierarkis. Pengetahuan tidak diberikan secara sepihak, tetapi lahir dari dialog dan pengalaman hidup.
Banyak relawan yang mendirikan rumah belajar mengatakan bahwa motivasi utama mereka adalah menjadikan pendidikan lebih manusiawi. Anak-anak diajak mengenali dirinya, lingkungan, dan potensi yang mereka punya. Tidak ada ranking, tidak ada hukuman, dan tidak ada tekanan untuk mengikuti standar seragam.
Menjemput Pendidikan yang Lebih Inklusif
Tentu, sekolah alternatif bukan tanpa tantangan. Status legalitas, kualitas pengajar, dan keberlanjutan program sering menjadi masalah. Namun, dalam pandangan sosiologi pendidikan, keberadaan mereka adalah bukti bahwa masyarakat berdaya menciptakan solusi di luar sistem.
Negara memang memiliki kewajiban menyediakan pendidikan bagi semua warga, tapi realitas sosial menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat juga krusial. Pendidikan tidak hanya urusan kebijakan, melainkan juga solidaritas.
Mungkin, inilah saatnya kita berhenti memandang sekolah hanya sebagai bangunan dengan papan tulis dan seragam. Karena belajar bisa terjadi di mana saja di rumah, di pasar, di taman, bahkan di jalanan. Selama ada rasa ingin tahu dan keinginan untuk berkembang, pendidikan tetap hidup.
Sekolah alternatif mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan sekadar hak, tapi juga ruang kebebasan. Ia mengajarkan bahwa tidak ada satu bentuk belajar yang lebih benar dari yang lain. Selama anak-anak masih bisa bermimpi dan berjuang lewat ilmu, harapan bagi masa depan pendidikan Indonesia tetap menyala meski tidak selalu dari dalam ruang kelas.