
Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pemerintah segera mengunggah dokumen Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang terbaru agar dapat diakses masyarakat.
Permintaan itu disampaikan oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dalam sidang lanjutan uji materi UU BUMN, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Senin (13/10).
Agenda persidangan yakni mendengarkan keterangan dari DPR dan Presiden. Untuk DPR diwakili oleh Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Ermarini. Sementara itu, Presiden diwakili oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej.
Adapun persidangan ini digelar untuk Perkara Nomor 38, 43, 44, 80/PUU-XXIII/2025. Para pemohon mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU BUMN yang lama, yakni UU Nomor 1 Tahun 2025. Gugatan uji materi ini bergulir di MK sebelum DPR menyetujui revisi terbaru UU BUMN.
Dalam persidangan itu, Saldi Isra mengaku kebingungan mencari UU BUMN yang terbaru. Bahkan, selama tiga hari mencoba mencari UU BUMN yang baru disahkan itu, masih belum bisa ditemukan.
“Ini untuk DPR dan Presiden, terutama Presiden, ya, Pak Eddy. Tolong segera diupload undang-undangnya, kita sudah cari tiga hari ini, ini di mana ini barang, kan. Sudah sejak lama disebutkan disahkan, tapi tidak muncul,” kata Saldi dalam persidangan, dikutip Selasa (14/10).
“Padahal, kan, kewajiban, begitu disahkan Presiden itu, kan, harus dipublikasi untuk memenuhi tahapan terakhir dari pembentukan undang-undang,” lanjut dia.

Saldi menyebut, bahwa publikasi aturan itu juga akan memudahkan bagi para Pemohon untuk melihat ihwal kerugian konstitusional mereka di dalam UU BUMN tersebut.
“Jadi tolong segera, ya, Prof Eddy, agar ini orang-orang ini punya ruang juga kalau merasa ada hak konstitusional yang terlanggar, jadi segera mereka tunaikan juga,” ucap Saldi.
Pemerintah: Uji Materi UU BUMN Kehilangan Objek
Dalam kesempatan itu, Eddy Hiariej selaku perwakilan dari Presiden menyampaikan bahwa uji materi UU BUMN di MK kehilangan objek karena norma pasal yang dipersoalkan telah mengalami perubahan setelah disahkannya UU BUMN yang baru.
Ia menyebut, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN telah diganti dengan Rancangan Undang-Undang Perubahan Keempat atas UU BUMN yang disetujui oleh DPR pada 2 Oktober 2025.
Setelah disahkan, UU terbaru itu telah diberi nomor dan berubah menjadi UU Nomor 16 Tahun 2025 Tentang BUMN.
“Pemerintah menyampaikan bahwa semua pasal yang dimohonkan oleh para Pemohon mengalami perubahan,” tutur Eddy.
“Berkaitan dengan hal tersebut, perlu kiranya juga Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 maka permohonan perkara a quo menjadi kehilangan objek,” imbuh dia.
MK Minta Pemerintah Berikan Bukti Perubahan Pasal
Menanggapi keterangan itu, Ketua MK Suhartoyo pun mempersilakan para pemohon untuk memutuskan nasib kelanjutan permohonan uji materi mereka terkait UU BUMN tersebut.
Menurutnya, meskipun substansi norma pasal yang dipersoalkan masih bertahan di UU yang baru, formalitas suatu norma akan tetap bermasalah jika terjadi pergeseran nomor pasal.
“Norma undang-undang yang dimohonkan pengujian untuk semua perkara ini katanya sudah mengalami perubahan. Jadi, saudara-saudara kan sudah bisa memahami konsekuensi yuridisnya seperti apa kalau perkara ini diteruskan,” ucap Suhartoyo.
“Substansi meskipun tetap bertahan tapi kalau secara formal sudah ada pergeseran tempat, juga sudah merupakan, irisan formalitasnya sudah bermasalah juga,” terangnya.
Suhartoyo mengaku baru mengetahui nomor UU BUMN terbaru pada saat pelaksanaan sidang tersebut. Untuk itu, ia meminta kepada DPR dan pemerintah untuk memberikan bukti bahwa pasal-pasal yang dimohonkan telah dilakukan perubahan di UU BUMN terbaru.
“Untuk Ibu Anggia dan Prof Eddy, kami tetap harus diberikan buktinya. Apakah betul pure dari semua norma yang dimohonkan pengujiannya ini betul-betul sudah berubah, baik subtansinya maupun tempat pasal-pasalnya. Karena ini kan perubahan, bukan penggantian,” ujar Suhartoyo.
“Kami juga dari Majelis Hakim perlu mempelajari undang-undangnya dan bukti bahwa itu betul-betul sudah berubah dari apa yang dimohonkan para pemohon ini norma-normanya,” sambung dia.
Tanggapan Para Pemohon
Adapun perkara Nomor 38/PUU-XXIII/2025 dimohonkan seorang dosen bernama Rega Felix. Ia mengajukan permohonan pengujian Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), Pasal 4B, Pasal 9G, dan Pasal 87 ayat (5) UU BUMN.
Pemohon mempersoalkan adanya norma-norma yang memisahkan kerugian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dan kerugian BUMN sebagai kerugian negara justru bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang menjadi amanat konstitusi.
Terkait keterangan pemerintah, Pemohon perkara 38 menyatakan akan mendiskusikan lebih lanjut ihwal nasib kelanjutan gugatannya di MK.
“Untuk keterangan dari Presiden dan DPR akan kami diskusikan lebih lanjut, dan keterangannya akan kami beri secepatnya, Yang Mulia,” kata kuasa hukum Pemohon, Muhammad Jundi Fathi Rizky.
Sementara itu, perkara Nomor 43/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh tiga mahasiswa yaitu Ahmad Fahrur Rozi, Dzakwan Fadhil Putra Kusuma, dan Muhammad Jundi Fathi Rizky. Mereka menggugat Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), Pasal 4B, Pasal 9G, serta Pasal 87 ayat (5) UU BUMN.
Menurut mereka, norma-norma yang diuji itu menyebut pegawai/karyawan Danantara tidak dikategorikan sebagai penyelenggara negara dapat memicu praktik korupsi di lingkungan BUMN dan keuntungan atau kerugian BPI Danantara bukan sebagai keuntungan atau kerugian negara.
Terkait keterangan yang disampaikan pemerintah, Fahrur Rozi menyebut bahwa pengesahan UU BUMN terbaru hanya sebagian dari gugatannya yang kehilangan objek. Untuk itu, ia menegaskan tetap melanjutkan permohonannya.
“Setahu kami, sepanjang yang kami crosscheck, draf terbaru dari undang-undang itu hanya isu yang pertama itu yang kena revisi, artinya sebagian doang dari perkara kami yang kehilangan objek,” kata dia.
“Jadi, kami pasrahkan kepada Mahkamah, sejauh ini dari [Pemohon perkara] 43 Insyaallah tetap pada permohonan, Yang Mulia,” tegasnya.
Lalu, perkara Nomor 44/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Heri Hasan Basri dan Solihin, selaku wiraswasta yang juga mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 3X ayat (1) serta Pasal 3Y huruf a dan b UU BUMN.
Mereka mengaku kehilangan hak konstitusionalnya untuk melaporkan kepada penegak hukum agar mengusut dan meminta pertanggungjawaban pidana kepada menteri, organ, dan pegawai Danantara yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum tindak pidana korupsi akibat berlakunya pasal-pasal yang diuji.
Adapun terkait keterangan yang disampaikan pemerintah, kuasa hukum Pemohon, Mega Nugraha Sukarna, menyebut pihaknya akan segera memberikan keputusan ihwal nasib gugatannya.
“Bahwa pasal yang kami uji itu Pasal 3X dan 3Y, dan seperti disampaikan tadi Prof Eddy sudah diubah, maka kami akan memberikan keputusan secepatnya terkait permohonan kami,” ucap Mega.
Selanjutnya, perkara Nomor 80/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS) bersama tiga warga negara Indonesia (WNI) lainnya. Mereka menguji Pasal 3F ayat (2) huruf a dan b, Pasal 3G ayat (2) huruf b dan c, Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), dan Pasal 71 ayat (2) sepanjang frasa ‘dengan tujuan tertentu’, ayat (3), dan ayat (4) UU BUMN.
Menurut para Pemohon, keuangan BUMN selama ini yang dinyatakan sebagai keuangan negara pun masih banyak disalahgunakan yang berakibat pada kerugian negara dengan banyaknya organ-organ BUMN yang ditetapkan sebagai tersangka dan dinyatakan bersalah dengan berkekuatan hukum tetap.
Terlebih, ketika keuangan BUMN yang dikelola tidak masuk sebagai keuangan negara dan bahkan organ dan pegawai BPI Danantara pun disebut bukan merupakan penyelenggara negara.
Adapun menanggapi keterangan pemerintah, kuasa hukum Pemohon, Arif Suherman, menilai sejumlah pasal yang telah diubah di UU BUMN terbaru masih memiliki substansi yang sama.
“Kami dari Pemohon 80, Yang Mulia, ada beberapa memang yang disampaikan oleh DPR dan pemerintah sudah diubah melalui undang-undang yang baru. Tetapi, dari Pemohon 80, Yang Mulia, ada beberapa pasal sepertinya substansinya tetap ada yang sama, Yang Mulia,” tutur Arif.