
Di era serba digital seperti sekarang ini, tren kuliner berkembang begitu cepat. Hanya butuh satu video viral, dan ulasan dari food vlogger ternama, bisa membuat sebuah restoran tiba-tiba ramai dikunjungi.
Selain itu, kini banyak anak muda yang memilih tempat makan bukan hanya karena rasa, tapi juga karena tampilannya yang Instagramable. Sayangnya, di balik semaraknya tren kuliner viral, ada satu hal penting yang sering luput dari perhatian, yaitu status kehalalan makanan tersebut.
Ya, tak sedikit pelaku usaha yang berupaya meyakinkan konsumen Muslim dengan berbagai klaim seperti “no pork no lard”, “muslim friendly”, atau “no alcohol”. Sekilas, narasi ini terdengar aman dan meyakinkan. Namun, faktanya, klaim sepihak seperti ini tidak serta-merta menjamin kehalalan produk.
Menurut Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati, kehalalan tidak hanya ditentukan dari ada atau tidaknya daging babi dalam makanan, tetapi juga pada keseluruhan proses produksinya. Banyak pelaku usaha menggunakan label ini sebagai pengganti, namun kenyataannya, label tersebut belum tentu menjamin kehalalan secara menyeluruh.
“Kehalalan suatu makanan tidak hanya bergantung pada ketiadaan daging babi atau turunannya, tetapi juga pada keseluruhan proses produksinya, mencakup pemilihan bahan, distribusi bahan (dari supplier ke gudang dan dari gudang ke outlet) atau menu (dari dapur pusat ke outlet), pengolahan (baik di dapur pusat maupun outlet), hingga penyajian atau penjualan,” ujarnya seperti dikutip dari laman LPPOM, Rabu (15/10).

Bahan-bahan yang Sering Dianggap Aman, Tapi Ternyata Tidak Halal
Konten kreator sekaligus edukator halal, Dian Widayanti, juga mengungkap bahwa masih banyak restoran yang mengeklaim halal secara sepihak padahal mereka menggunakan bahan-bahan yang seharusnya dihindari.
“Kadang, mereka bukan dengan sengaja menjual makanan non-halal, tapi banyak yang belum tahu bahwa bahan-bahan ini sebetulnya tidak halal,” kata Dian.
Nah, berikut ini beberapa bahan yang sering luput dari perhatian, antara lain:
-
Angciu (arak masak): Jenis arak populer yang sering digunakan dalam chinese food, bahkan terkadang juga ditambahkan dalam nasi goreng di pinggir jalan.
-
Rhum: Sering dipakai untuk kue, roti, atau dessert. Meski disebut “essence” atau “non-alkohol”, produk dengan nama rhum tetap tidak bisa disertifikasi halal. Hal ini sesuai Fatwa MUI No. 44 Tahun 2020, yang melarang penggunaan nama, aroma, atau rasa yang mengarah pada minuman keras.
-
Mirin: Umumnya digunakan dalam masakan Jepang, terutama untuk sushi. “Kalau ada yang bilang mereka pakai mirin halal, pastikan dulu, karena sejatinya tidak ada istilah mirin halal,” tegas Dian.
-
Kahlua dan Irish Cream: Jenis minuman beralkohol yang kadang ditambahkan dalam kopi atau dessert seperti tiramisu. Keduanya jelas tidak boleh digunakan dalam produk halal karena statusnya haram dan najis.
-
Kuas bulu hewan: Masih banyak restoran yang memakai kuas berbahan bulu hewan. Karena asal-usulnya tidak selalu jelas, bisa jadi berasal dari bulu babi. Dian menyarankan untuk menggunakan kuas silikon atau sintetis food grade sebagai alternatif.
Jadi, pastikan produk yang kita pilih bukan hanya sekadar ikut-ikutan tren saja, ya!