
“Uang ribuan triliun saja bisa dikorupsi, masa membayar utang negara tidak bisa?” demikian pernyataan bernada tegas dari Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, tak lama setelah dilantik menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada 8 September 2025.
Kalimat itu segera menarik perhatian publik karena diucapkan di tengah pusaran krisis kepercayaan akibat skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Bagi sebagian orang, pernyataan Purbaya terdengar sebagai bentuk optimisme teknokratis, sementara bagi yang lain, ia menjadi simbol paradoks: negara mampu membayar utang, tetapi tak berdaya membendung praktik korupsi.
Korupsi Raksasa dan Strategi Nasional
Indonesia tahun 2025 tidak hanya berurusan dengan dinamika global dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dengan skandal korupsi yang mengguncang sendi negara.
Kasus pengelolaan dana bantuan sosial di Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan menyeret nama pejabat strategis, sementara skandal di Pertamina terkait pencampuran bahan bakar bersubsidi dan non-subsidi diperkirakan menimbulkan kerugian negara hingga Rp968,5 triliun.
Skandal Pertamina ini bukan sekadar kasus biasa, melainkan catatan hitam sebagai korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Data survei memperlihatkan betapa seriusnya dampak situasi ini terhadap persepsi publik: 30,9 persen pemimpin sektor publik dan swasta menilai korupsi sebagai tantangan terbesar, sementara 78,4 persen menganggap penegakan hukum dalam kasus korupsi belum efektif.
Kondisi ini menegaskan bahwa korupsi bukan hanya kejahatan individual, melainkan problem sistemik yang terus menggerogoti legitimasi institusi negara.
Untuk merespons kondisi ini, pemerintah bersama KPK memperkuat implementasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) dengan mengusung Trisula Pemberantasan Korupsi: penindakan, pencegahan, dan pendidikan.
Penindakan diarahkan pada penegakan hukum tegas untuk memberi efek jera, pencegahan melalui digitalisasi perizinan dan tata kelola keuangan negara untuk menutup celah, serta pendidikan melalui kampanye integritas yang melibatkan masyarakat luas.
Pendekatan ini dijalankan secara kolaboratif dengan 67 kementerian/lembaga dan 34 provinsi, dievaluasi setiap tiga bulan melalui mekanisme Surat Keputusan Bersama.
Salah satu terobosan penting adalah peluncuran Monitoring Center for Prevention (MCP) 2025, sebuah indikator capaian pencegahan korupsi di daerah. Dengan MCP, pemerintah daerah tidak hanya diawasi, tetapi juga diberi tolok ukur yang transparan untuk memperbaiki tata kelola mereka.
Transformasi digital layanan publik pun dipandang sebagai langkah kunci untuk mengurangi interaksi langsung yang rentan membuka ruang bagi suap dan kolusi.
Transisi Menteri Keuangan dan Narasi Optimisme
Di tengah pusaran skandal ini, transisi di Kementerian Keuangan menjadi titik sorotan. Sri Mulyani Indrawati, pada awal 2025, masih percaya diri bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,2 persen.
Ia menilai konsumsi rumah tangga yang terjaga serta belanja pemerintah yang produktif sebagai pendorong utama pertumbuhan, meski dunia dihadapkan pada ketidakpastian global.
Optimisme itu kini dilanjutkan oleh penggantinya, Purbaya Yudhi Sadewa, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.
Pelantikan Purbaya oleh Presiden Prabowo Subianto menandai pergantian penting dalam arah kebijakan fiskal. Tantangan yang dihadapi tidak ringan: menjaga kesinambungan kebijakan, menyusun RAPBN 2026 yang kredibel, serta mengembalikan kepercayaan investor di tengah bayang-bayang korupsi.
Purbaya menekankan pentingnya kesinambungan fiskal, stabilitas ekonomi, dan komunikasi publik yang transparan. Menurut para ekonom, keberhasilan Purbaya akan sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi kebijakan yang ia sampaikan, agar publik dan pasar tidak sekadar mendengar angka, tetapi juga melihat konsistensi.
Pernyataannya bahwa “uang ribuan triliun bisa dikorupsi, masa bayar utang tidak bisa” memang terdengar satir, namun sekaligus mempertegas keyakinan bahwa negara memiliki kapasitas fiskal yang cukup kuat untuk mengelola kewajibannya.
Optimisme ini penting bukan hanya untuk menenangkan pasar, tetapi juga untuk membentuk narasi bahwa pemerintah masih punya kendali meski badai korupsi menghantam.
Harapan ke Depan
Meski demikian, optimisme fiskal tidak boleh berhenti pada retorika. Ia harus diterjemahkan dalam kebijakan yang menutup celah kebocoran anggaran dan memperkuat integritas birokrasi.
Stranas PK dan Trisula Antikorupsi menjadi instrumen penting, tetapi implementasinya harus konsisten, bukan sekadar seremonial. Tanpa keberanian politik untuk menindak kasus besar hingga ke akar oligarki, narasi antikorupsi berisiko dipandang sebagai basa-basi politik.
Publik kini menaruh harapan besar pada Purbaya. Jika ia mampu membuktikan bahwa optimisme fiskal berjalan beriringan dengan tata kelola yang bersih, kepercayaan masyarakat dan investor bisa dipulihkan. Namun bila optimisme hanya hadir sebagai janji tanpa tindakan nyata, sinisme publik akan tetap dominan.
Indonesia pada akhirnya berada di persimpangan: apakah akan melanjutkan pola lama di mana korupsi menjadi bayang-bayang permanen, atau memanfaatkan momentum 2025 sebagai titik balik menuju pemerintahan yang lebih bersih?
Jalan menuju visi Indonesia bebas korupsi 2045 masih panjang, tetapi dengan sinergi antara kekuatan fiskal dan strategi antikorupsi, optimisme bukan sekadar utopia. Ia bisa menjadi arah nyata yang membawa bangsa ini menuju integritas dan kesejahteraan.