
Dualisme kepemimpinan politik kembali bergulir saat pemilihan ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), terutama terekam setelah palagan politik Muktamar X partai berlambang Ka’bah tersebut usai. Sebelumnya, kedua kandidat berupaya meraih tampuk kekuasaan politik di internal PPP, Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto.
Sejak awal, kontestasi politik di internal partai berlambang Ka’bah pada acara Muktamar X tersebut memang sudah dimulai sebelum perhelatan Muktamar dilakukan. Karena itu, kedua faksi politik saling mengeklaim bahwa keduanya berhak untuk melenggang sebagai ketua umum.
Hasilnya, saat setelah acara Muktamar X usai, kedua faksi politik yang direpresentasikan oleh Mardiono dan Agus ini saling mengeklaim sebagai ketua umum terpilih dan menolak kepengurusan yang sebelumnya telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Menkum terhadap Muhamad Mardiono (Detik, 2025).
Penolakan tersebut datang dari faksi Agus Suparmanto karena dinilai tidak memiliki dasar atas penetapan tersebut. Akibatnya, hal ini menimbulkan friksi di internal PPP. Namun, pergumulan politik tersebut tidak berselang lama karena kedua faksi berupaya menciptakan kohesi internal partai politik melalui islah atas kontestasi politik pada Muktamar X tersebut.
Pada saat yang sama, saat proses islah politik antara faksi politik Muhamad Mardiono dan Agus Suparmanto selesai, tentunya ada konsensus politik yang sudah terjalin. Hal ini terekam saat komposisi pengurus PPP yang sudah berubah karena pemerintah melalui Menkum sudah memutuskan komposisi struktur baru di mana Muhamad Mardiono sebagai ketua umum dan Agus Suparmanto didapuk sebagai wakil ketua umum.

Sementara itu, posisi strategis di internal partai seperti Sekretaris Jenderal PPP kini dijabat oleh Taj Yasin Maimoen yang juga Wakil Gubernur Jawa Tengah.
Kehadiran figur Gus Yasin—sapaan populer bagi putra ulama karismatik K.H. Maimun Zubair, yang berada pada posisi Sekretaris Jenderal PPP ini—menunjukkan bahwa islah politik ini dilakukan untuk meredam friksi politik di internal PPP, terlebih PPP kentara sekali terhadap figur ulama karismatik K.H. Maimun Zubair.
Dengan kata lain, PPP yang dipimpin Mardiono berupaya untuk memperoleh legitimasi dari klan politik ulama tersebut, termasuk preferensi pemilih terhadap PPP yang berada di wilayah Jawa. Karena itu, keberadaan figur Gus Yasin semakin meneguhkan posisi politik dari Mardiono.
Meski begitu, islah politik ini semestinya bisa dijadikan sebagai refleksi atas permasalahan utama yang selama ini mendera partai berlambang Ka’bah tersebut.
Tantangan Elektoral
Merujuk pada hasil Pemilu 2024, PPP hanya berhasil meraih perolehan suara sebesar 3,8%, angka yang relatif kecil jika diasosiasikan dengan ambang batas parlemen sebesar 4%. Oleh karena itu, perolehan suara tersebut tidak berhasil membawa PPP ke parlemen, tetapi terdepak dari parlemen sejak partai politik ini berdiri.

PPP sering kali dihadapkan pada persoalan utama seperti konflik internal karena didasari motif politik yang berbeda, baik saat pemilihan ketua umum atau perbedaan sikap politik sebelum maupun sesudah proses elektoral bergulir. Akibatnya, partai berlambang Ka’bah ini tidak mengalami transformasi kelembagaan, justru terjebak pada konflik yang mendera lembaganya.
Hal itu mengakibatkan PPP tidak fokus saat proses politik terlaksana. Selain itu, ketiadaan figur sentral di PPP membuat partai ini tampak tertatih-tatih dalam mendulang raihan suara. Imbas politiknya, PPP tidak memenuhi ambang batas parlemen.
Dengan demikian, islah politik antara Mardiono dan Agus seyogianya bisa memperbarui cetak-biru politik PPP agar bisa beradaptasi secara ekstensif terhadap proses politik yang telah mengalami modernisasi.
Sebab, di tengah sistem multipartai dengan munculnya partai politik baru yang memiliki basis atau segmen politik yang serupa dengan PPP, membuat ceruk pemilih muslim semakin diperebutkan, terutama persaingan politiknya semakin kompetitif. Islah politik ini diharapkan mampu menjawab tantangan elektoral yang saat ini dihadapi oleh PPP agar bisa kembali ke parlemen.
Karena itu, PPP tentu saja memerlukan rebranding atas kelembagaannya. Sebab, kehadiran partai politik baru membuat perolehan suara PPP semakin tergerus, terlebih saat kehadiran partai politik yang serupa dalam konteks pemilih muslim, seperti kemunculan PKB, PAN, dan PKS yang bisa mengkapitalisasi perolehan suara yang sebelumnya mendukung PPP.

Partai-partai politik tersebut cenderung berhasil menggeser posisi politik PPP yang hanya sekadar fokus terhadap preferensi pemilih muslim tradisionalis, terutama oleh PKB yang memiliki relevansi sama terhadap basis pemilih muslim tradisionalis yang direpresentasikan oleh jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Pergeseran politik ini berjalan beriringan karena PKB berhasil menciptakan rebranding kelembagaan, terutama setelah dipimpin oleh K.H Abdurrahman Wahid, yang pernah memimpin ketua umum PBNU sekaligus sebagai Presiden. Namun, saat ini PKB masih dipimpin oleh Muhaimin Iskandar.
Sedangkan, PKS dan PAN berhasil menciptakan rebranding kelembagaannya dan terbukti pembaruan kelembagaan ini berhasil menempatkan posisi politik PKS dan PAN tetap berada di parlemen Jakarta.
Kedua partai politik ini fokus terhadap pemilih muslim perkotaan. Bahkan, keduanya, terutama PAN, berupaya lebih efektif lagi dengan menggunakan pendekatan politik inklusif, sehingga PPP yang belum memperbarui kelembagaannya semakin tertinggal dari kompetitior baru, terlebih segmen pemilihnya tidak mengalami pergeseran.
Padahal, pemilih pemula di Indonesia sebagai entitas sosial yang memiliki sumbangsih besar pada proses politik terbaru—termasuk pada Pemilu 2024 terakhir, sekaligus mengafirmasi bahwa pemilih pemula ini juga memiliki kecenderungan terbuka terhadap teknologi, tapi tampaknya tidak dikapitalisasi secara komprehensif oleh PPP.

Seharusnya, pengalaman friksi yang pernah melanda PPP bisa dijadikan sebagai refleksi atas kegagalan PPP dewasa ini, terlebih ketiadaan figur utama. Tren elektoral PPP dalam palagan politik di Indonesia menunjukkan ada semacam akar masalah utama yang mengakibatkan PPP terdepak dari parlemen di Jakarta karena di tingkat lokal PPP masih memiliki anggotanya di DPRD.
Namun, masalah utama ini bisa menjadi faktor inheren PPP tidak memenuhi ambang batas parlemen, salah satunya friksi internal, sebagaimana munculnya faksi-faksi politik di internal partai, terutama sebelum proses Islam terjadi. Selain itu, persaingan politik dengan partai Islam lainnya yang memiliki segmen politik sama, sebagaimana sudah dibahas di awal, termasuk minimnya inovasi politik dari struktur elite partai dan partai cenderung elitis (Litbang Kompas, 2025).
Sebagai salah satu partai politik yang relatif sudah menikmati perjalanan politik setiap rezim kekuasaan, semestinya PPP memiliki posisi politik yang eksplisit di tengah pembangunan politik yang besar. Dalam bahasa lain, PPP bisa menciptakan rebranding baru atau secara kolektif bersama masyarakat, terutama yang selama ini menjadi segmen politiknya atau bisa diperluas terhadap segmen sosial lainnya.
Dengan demikian, di tengah dominasi koalisi besar pemerintahan, sikap politik PPP seharusnya bisa berbeda dengan partai politik yang saat ini berada di dalam koalisi pemerintahan. Artinya, PPP bisa menjadi salah satu partai yang bisa menciptakan check and balances terhadap rezim kekuasaan. Meski demikian, hal ini memang bukanlah perkara mudah, terlebih saat ini tidak berada di lembaga parlemen.
Dewasa ini, meminjam istilah Syamsuddin Haris (1998), PPP sedang dihadapkan pada dilema untuk mempertahankan identitas sebagai partai muslim dan tuntutan menjadi partai yang lebih inklusif. Namun, hemat penulis, di tengah persaingan partai yang semakin kompetitif dan tiadanya platform ideologi yang digunakan secara reguler, semestinya PPP bisa menciptakan rebranding baru untuk menjawab tantangan elektoral.