
“Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel telah menjelaskan bahwa pemberontakan lahir dari jurang antara harapan dan kenyataan—jurang itulah yang kini menganga di Indonesia.”
Gelombang unjuk rasa yang merebak beberapa waktu terakhir menunjukkan bahwa politik Indonesia sedang memasuki babak baru. Jika sebelumnya dinamika politik kerap dipandu oleh figur karismatik, kini kita menyaksikan lahirnya politik berbasis isu. Perubahan ini bukan sekadar variasi dalam gaya protes, melainkan sebuah transformasi kultur politik yang dapat mengubah wajah demokrasi Indonesia dalam lima tahun mendatang.
Fenomena ini terlihat dari cara unjuk rasa berlangsung. Tidak ada lagi pemimpin tradisional seperti tokoh partai, ketua BEM, atau konfederasi buruh yang menjadi ujung tombak. Demonstrasi kini terorganisir melalui media sosial dengan ritme periodik, bergerak berdasarkan momentum isu, bukan instruksi elite. Anak muda mengekspresikan keterlibatannya dalam bentuk FOMO (fear of missing out), sebuah ekspresi radikal yang mencerminkan keresahan sekaligus harapan menjadi bagian dari sejarah. Politik jenis baru ini sekaligus melemahkan pengaruh tokoh-tokoh partai dan organisasi massa yang selama ini dianggap dominan.
Berbeda dari kerusuhan atau protes di masa lalu yang sering dipandang sebagai ledakan ketimpangan sosial, unjuk rasa kali ini muncul sebagai katarsis yang diwarnai teknologi digital. Ia tidak lagi didorong oleh jaringan patronase lama, melainkan oleh koordinasi cepat antarwarga net. Sayangnya, pemerintah justru menanggapi fenomena ini dengan cara lama.
Presiden Prabowo mengaitkan protes dengan makar dan terorisme—narasi yang jauh dari substansi aspirasi publik. Alih-alih membaca keresahan sebagai ekspresi demokratis, respons itu menunjukkan jarak yang kian lebar antara logika kekuasaan dan realitas masyarakat.
Baca di sini: Pidato lengkap Prabowo yang menyebut demonstrasi mengarah pada tindakan makar dan terorisme.
Perspektif Teoritis
Untuk memahami fenomena ini, kita bisa melihat teori-teori klasik tentang keresahan sosial. Psikolog sosial Gustave Le Bon menjelaskan bagaimana individu larut dalam kerumunan dan kehilangan identitas personal, sehingga lahir perilaku kolektif yang sulit diprediksi. Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel menekankan bahwa pemberontakan lahir dari deprivasi relatif—jurang antara harapan dan kenyataan. Sementara Albert Camus dalam Rebellion, Resistance, and Death melihat pemberontakan sebagai ekspresi eksistensial: manusia menolak diperlakukan tidak adil karena mereka masih percaya pada makna keadilan itu sendiri.
Michel Foucault menambahkan dimensi struktural, bahwa protes sering kali merupakan hasil dari relasi kuasa yang timpang. Ketika rakyat merasa martabatnya diinjak, demonstrasi menjadi ruang artikulasi moral. Dalam konteks ini, tuntutan rakyat Indonesia mengingatkan kita pada slogan Revolusi Prancis: liberté, égalité, fraternité. Mereka menuntut kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, bukan sekadar perubahan kosmetik politik.
Faktor Struktural dan Kegagalan Partai Politik
Ledakan kemarahan di jalanan tentu memiliki pemicu, tetapi faktor yang lebih mendasar adalah disparitas dan frustrasi rakyat. Partai politik yang seharusnya menjadi perumus aspirasi gagal menjalankan fungsinya. Mereka sibuk dengan urusan internal, bagi-bagi jabatan, dan studi banding ke luar negeri, sementara suara rakyat disalurkan melalui media sosial. Tuntutan-tuntutan seperti “17+8” atau desakan kesetaraan gender muncul tanpa kanal formal, karena partai tidak lagi dipercaya sebagai jembatan.
Aparat keamanan pun sering salah membaca situasi. Mereka menganggap perusakan sebagai tradisi mahasiswa, padahal itu luapan frustrasi akibat ketidakadilan struktural. Dalam kondisi massa, prinsip the whole is greater than the sum of its parts berlaku: individu melebur menjadi energi kolektif yang bisa berujung destruktif. Meski selalu ada sponsor kekerasan yang harus diusut, akar masalahnya tetap pada jurang ketidakadilan.
Konflik Laten: Aturan vs Nilai
Di balik dinamika ini, terdapat konflik laten antara rules dan values. Aturan mewakili logika kekuasaan, sementara nilai merefleksikan energi moral publik. Ketika undang-undang seperti UU Perampasan Aset tidak kunjung disahkan, rakyat menilai aturan tidak sejalan dengan keadilan. Dalam kondisi itu, tindakan langsung di jalan dianggap lebih efektif.
Konflik ini bersifat sublim, sulit dipahami sebelum meledak. Jika demonstrasi berujung kekerasan atau penjarahan, itu menandakan ada masalah dengan nilai fundamental yang tidak terakomodasi. Meskipun penjarahan bertentangan dengan peradaban, ia tetap merupakan tanda frustrasi kolektif.
Unjuk rasa juga menyimpan isu-isu laten yang tidak diucapkan secara terbuka. Generasi muda tidak secara eksplisit menyebut soal dinasti Solo, ijazah palsu, atau kasus Gibran. Namun, semua itu membentuk deep psychology publik. Kekacauan hari ini adalah warisan sepuluh tahun pemerintahan sebelumnya yang penuh kontroversi.
Presiden Prabowo menghadapi tantangan untuk membuktikan diri sebagai pemimpin otentik, bukan sekadar perpanjangan tangan Jokowi. Jika ia gagal memutus relasi itu, maka isu-isu laten akan terus membayangi hingga 2029. Potensi keretakan kabinet, persoalan legitimasi wakil presiden di Mahkamah Konstitusi, hingga kontroversi ijazah Jokowi bisa sewaktu-waktu menjadi pemicu protes baru.
Politik Netizen
Kultur politik Indonesia kini dijaga bukan hanya oleh warga negara (citizen), tetapi oleh netizen. Media sosial memungkinkan publik, diaspora, akademisi, dan jurnalis bersatu dalam wacana moral. Politik tidak lagi digerakkan oleh lobi tertutup, tetapi oleh viralitas isu. Netizen menuntut pemulihan akal sehat, keadilan sosial, martabat masyarakat adat, kelestarian hutan, hingga hak kelompok yang terpinggirkan.
Inilah wajah politik baru: partisipasi berbasis isu, diorganisir secara anomi, namun memiliki daya dorong eksistensial yang kuat. Aparat keamanan, intelijen, dan elite politik harus belajar membaca fenomena ini, bukan sekadar menganggapnya ancaman keamanan.
Pergeseran kultur politik Indonesia tidak bisa diabaikan. Dari tokoh ke isu, dari partai ke media sosial, dari lobi ke jalanan, transformasi ini merepresentasikan lahirnya politik generasi baru. Protes yang digerakkan oleh isu adalah wujud koreksi terhadap kegagalan institusi politik.
Pertanyaan mendasarnya: apakah pemerintah akan membuka ruang dialog dan reformasi, atau justru menstigmatisasi gerakan ini sebagai makar? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan apakah demokrasi Indonesia menuju pendewasaan atau justru terjebak dalam spiral krisis kepercayaan. Yang jelas, politik Indonesia telah berubah. Kini, masa depan demokrasi kita ditentukan oleh seberapa jauh negara mau merangkul energi moral publik yang lahir dari jalanan dan dunia maya.