
Di era digital yang semakin maju ini, dunia teknologi seolah menjadi pusat dari segala perubahan. Hampir semua aspek kehidupan manusia kini bersentuhan dengan inovasi berbasis teknologi — mulai dari pendidikan, bisnis, hingga layanan publik. Namun, di balik kemajuan itu, masih tersimpan satu kenyataan yang ironis: keterlibatan perempuan dalam bidang informatika dan teknologi masih tergolong rendah, baik di tingkat kampus maupun dunia kerja.
Masih banyak masyarakat yang memandang dunia informatika sebagai “dunia laki-laki”. Pandangan ini lahir dari konstruksi sosial lama yang mengaitkan kemampuan logika, rasionalitas, dan ketekunan teknis sebagai sifat maskulin. Sejak kecil, anak laki-laki lebih sering dikenalkan pada komputer, gim, atau peralatan teknologi, sedangkan anak perempuan diarahkan ke aktivitas sosial atau estetika. Pola ini secara tidak langsung membentuk persepsi bahwa bidang teknik dan informatika bukan ruang yang “alami” bagi perempuan.
Akibatnya, ketika seorang perempuan memilih kuliah di program studi seperti Pendidikan Teknik Informatika, ia sering dihadapkan pada pandangan skeptis — baik dari lingkungan, teman sebaya, maupun bahkan dari dirinya sendiri. Tidak jarang muncul komentar seperti “ngapain sih kuliah IT, kan susah” atau “jarang banget cewek bisa coding”. Kalimat-kalimat sederhana itu membentuk dinding tak terlihat yang menekan potensi perempuan untuk berkembang.
Padahal, kemampuan berpikir logis dan kreatif bukanlah milik satu gender saja. Dunia informatika justru membutuhkan keberagaman perspektif untuk melahirkan inovasi yang inklusif dan berempati terhadap pengguna dari berbagai latar belakang. Perempuan membawa sudut pandang yang unik dalam mendesain sistem, antarmuka, dan solusi digital yang lebih manusiawi.

Fakta dan Realitas di Lapangan
Menurut data UNESCO (2023), perempuan hanya mencakup sekitar 35% dari total mahasiswa STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) di dunia, dan persentase ini jauh lebih rendah di bidang teknik dan komputer. Di Indonesia, jumlah mahasiswi di jurusan informatika memang meningkat, tetapi perbandingannya masih timpang — di beberapa kampus, perempuan hanya 1 dari 10 mahasiswa di kelas teknik informatika.
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada representasi di kampus, tapi juga di dunia industri. Berdasarkan laporan Women in Tech Global Movement tahun 2024, hanya sekitar 28% tenaga kerja di sektor teknologi Indonesia adalah perempuan, dan sebagian besar berada di posisi non-teknis seperti HR, marketing, atau administrasi, bukan di bidang pemrograman, keamanan siber, atau data science.
Masalahnya bukan hanya akses, tapi juga keberlanjutan karier. Banyak perempuan yang akhirnya meninggalkan dunia teknologi karena menghadapi workplace bias, kurangnya dukungan lingkungan, atau tuntutan sosial untuk “lebih berfokus pada rumah tangga”. Inilah mengapa menciptakan lingkungan belajar dan bekerja yang ramah gender menjadi sangat penting.
Peluang yang Terbuka Lebar
Meski masih banyak tantangan, era digital justru menghadirkan peluang besar bagi perempuan untuk berkiprah dalam informatika. Transformasi digital di berbagai sektor membuat kebutuhan akan talenta teknologi semakin tinggi — tanpa lagi memandang gender. Kini, banyak perusahaan dan komunitas teknologi yang secara aktif mendorong keterlibatan perempuan melalui program women in tech, girls who code, dan digital literacy for women.
Bagi mahasiswa Pendidikan Teknik Informatika, peluang ini memiliki dimensi ganda: tidak hanya bisa berkarier sebagai pendidik, tapi juga menjadi agen perubahan yang menularkan semangat teknologi inklusif ke generasi muda. Seorang guru perempuan di bidang informatika memiliki potensi besar untuk menjadi inspirasi bagi siswi-siswi di sekolah, membuktikan bahwa dunia teknologi bukan milik satu jenis kelamin.
Dengan kemampuan pedagogik dan pemahaman teknologi yang kuat, mahasiswa PTI perempuan bisa memecahkan rantai stereotip sejak dari ruang kelas. Bayangkan jika setiap sekolah memiliki guru informatika perempuan yang percaya diri, inovatif, dan mampu mengajarkan coding dengan cara yang menyenangkan — dampaknya akan terasa luas, membuka jalan bagi lebih banyak anak perempuan yang berani bermimpi di bidang STEM.