
Gen Z bergerak, dan membuat suasana menjadi tidak terkontrol di Nepal. Dari jalanan Kathmandu hingga kota-kota besar lain, ribuan anak muda Nepal turun ke jalan, muak pada korupsi, nepotisme, dan elite yang terus mempermainkan demokrasi. Mereka lahir setelah transisi politik, tumbuh dengan janji demokrasi baru, namun yang mereka saksikan justru stagnasi demokrasi, penyelewengan kekuasaan, dan ruang publik yang makin sempit.
Pemicu langsung dari ledakan kemarahan ini adalah keputusan pemerintah untuk melarang puluhan platform media sosial. Tetapi larangan itu hanya percikan api di atas tumpukan kekecewaan. Gen Z menjadikan protes ini sebagai gerakan moral untuk melawan “nepo kids” yang mendominasi politik dan bisnis, simbol ketidakadilan struktural yang menutup jalan bagi meritokrasi.
Aksi protes yang awalnya damai cepat berubah menjadi konfrontasi. Aparat keamanan menembakkan gas air mata, massa membalas dengan teriakan tuntutan yang semakin radikal yakni mundurnya perdana menteri. Tekanan massa akhirnya melumpuhkan parlemen dan menggiring Perdana Menteri K.P. Sharma Oli ke pintu keluar kekuasaan. Namun, kekosongan kekuasaan segera diisi oleh intervensi militer dengan dalih menjaga stabilitas, membuka babak baru krisis yang menegaskan rapuhnya fondasi demokrasi di Nepal.
Krisis di Nepal ini adalah manifestasi dari kegagalan demokrasi substantif. Dan Gen Z telah menyalakan alarm bahwa tanpa demokrasi yang dijalankan secara nyata, negara bisa tergelincir ke retorika kosong dan kekuasaan yang tak terkontrol.
Membaca Nepal melalui Teori Demokrasi
Robert A. Dahl (1971), seorang profesor politik fenomenal dari Yale University dalam bukunya Polyarchy, menjelaskan bahwa demokrasi bukan hanya sekadar prosedur elektoral. Melainkan suatu sistem yang menuntut adanya kontestasi politik yang nyata dan partisipasi luas dari masyarakat. Demokrasi yang sehat harus menjamin kebebasan berpendapat, akses terhadap informasi, serta mekanisme akuntabilitas yang kuat. Namun dalam kenyataan, banyak negara hanya berhenti pada demokrasi prosedural yakni melaksanakan pemilu dan memiliki parlemen. Tanpa menjamin substansi demokrasi dijalankan secara sungguh-sungguh.
Guillermo O’Donnell dan Philippe Schmitter (1986) dalam karya mereka Transitions from Authoritarian Rule, bahkan mengingatkan bahaya dari demokrasi delegatif. Maksudnya adalah ketika rakyat hanya diminta hadir dalam pemilu, tetapi setelah itu elite politik bertindak sewenang-wenang tanpa mekanisme pengawasan. Nepal memperlihatkan gejala ini. Ada pemilu, ada parlemen, ada konstitusi, tetapi korupsi dan nepotisme dibiarkan hidup subur. Jika demokrasi tidak dijalankan secara substantif, yang muncul bukanlah pemerintahan rakyat untuk rakyat, melainkan legitimasi semu bagi elite. Itulah yang dilawan Gen Z Nepal. Demokrasi yang hanya tampak hidup secara prosedural tetapi mati secara substansial.
Bahaya dari Krisis Demokrasi
Krisis demokrasi di Nepal memperlihatkan gejala klasik yang sudah diperingatkan oleh banyak ilmuwan politik. Francis Fukuyama (2014) dalam bukunya yang berjudul Political Order and Political Decay menulis bahwa korupsi adalah penyakit yang menghancurkan legitimasi institusi politik. Ketika masyarakat tidak lagi percaya bahwa sistem bekerja untuk mereka, ruang kosong itu bisa diisi oleh kekuatan non-demokratis, baik oligarki maupun militer.
Hilangnya kepercayaan publik adalah ancaman pertama. Demokrasi tidak bisa bertahan tanpa kepercayaan rakyat. Ketika generasi muda melihat bahwa akses ke pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan politik hanya terbuka bagi “anak pejabat” atau kerabat elite, mereka merasa terasing dari sistem. Inilah yang melahirkan slogan “nepo kids” dalam protes di Nepal.
Ancaman kedua adalah otoritarianisme baru. Kekosongan kepemimpinan atau pemerintahan yang lumpuh seringkali diisi oleh militer dengan alasan menjaga stabilitas. Namun sejarah menunjukkan bahwa sekali militer masuk ke ranah politik, jalan keluar menuju demokrasi seringkali semakin terjal.
Ancaman ketiga adalah delegitimasi internasional. Negara yang gagal menunjukkan konsistensi dalam menjalankan demokrasi akan kehilangan posisi moral di kancah global. Demokrasi yang hancur dari dalam akan mengurangi peluang investasi, memperburuk krisis ekonomi, dan pada akhirnya memperdalam ketidakstabilan.
Gen Z dan Tantangan Demokratisasi Baru
Gen Z di Nepal menjadi simbol generasi yang menuntut demokrasi substantif. Mereka menolak politik lama yang penuh kompromi kepentingan, dan menuntut reformasi yang lebih nyata. Transparansi keuangan publik, pembentukan lembaga pengawas independen, serta ruang kebebasan berekspresi yang terjamin, adalah tuntutan utama yang dikumandangkan. Namun, tantangan mereka berat. Gerakan tanpa struktur politik bisa kehilangan arah. Kekuatan lama bisa dengan mudah melakukan kooptasi. Dan tanpa dukungan institusi formal, protes bisa berhenti pada ledakan sesaat tanpa perubahan jangka panjang.
Disini lah dilema besar demokrasi. Ia memerlukan partisipasi aktif rakyat, tetapi juga memerlukan institusi yang stabil. Jika salah satu unsur hilang, demokrasi akan rentan jatuh ke krisis. Nepal sedang membayar harga dari demokrasi yang selama ini dibiarkan hanya sebagai prosedur, tanpa substansi.
Penutup dan Refleksi
Nepal hari ini adalah cermin yang memantulkan bahaya dari demokrasi yang tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Demokrasi yang hanya berhenti pada pemilu tetapi membiarkan korupsi, nepotisme, dan eksklusi sosial berkembang, hanyalah jalan menuju krisis.
Pelajaran ini penting bukan hanya bagi Nepal, tetapi juga bagi negara-negara lain, termasuk di Asia dan kawasan Global South. Demokrasi tidak cukup hanya ada di atas kertas. Demokrasi harus terasa dalam praktik. Terwujudnya keadilan sosial yang nyata, kebebasan sipil yang dijamin, transparansi dalam pengelolaan negara, serta kesetaraan kesempatan bagi seluruh warga negara. Jika hal-hal substantif itu diabaikan, demokrasi akan menjadi wadah kosong yang suatu saat bisa meledak oleh kemarahan rakyat.