
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyoroti persoalan keadaban berbahasa yang dinilai telah mencapai tahap mengkhawatirkan.
Dalam acara “Pak Menteri Menyapa Guru Bahasa Indonesia” yang digelar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, ia menegaskan bahwa penyebaran bahasa kasar dan jorok di ruang publik telah menjadi hal yang lumrah.
“Problem kita selanjutnya yaitu keadaban berbahasa, ini sudah ada pada level serius. Orang ngomong kata-kata kasar, kata-kata jorok dan sejenisnya, itu sudah biasa,” ujar Mu’ti di Kantor Kemendikdasmen, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (24/6).
Forum ini dihadiri 250 peserta secara luring serta sekitar 5.000 peserta secara daring. Kegiatan ini bertujuan memperkuat pemahaman kebijakan bahasa nasional dan mendengarkan aspirasi dari guru serta pegiat pendidikan bahasa di seluruh Indonesia.
Mu’ti menekankan pentingnya menjadikan Bahasa Indonesia bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sarana berpikir kritis dan pembentuk karakter.
“Kemampuan berpikir seseorang itu dapat dilihat dari bagaimana dia berbahasa, baik lisan maupun tulisan,” kata Mu’ti.
“Karena itu, maka reading and thinking bisa dikaitkan dengan bahasa menjadi alat untuk berpikir kritis dan logis. Sehingga mengajarkan bahasa itu di dalamnya harus ada logika,” tambahnya.
Ia juga menyoroti lemahnya penggunaan Bahasa Indonesia di institusi pemerintahan dan ruang publik.
“Banyak yang pakai bahasa bukan Indonesia, bahkan di kantor-kantor negara, ruang-ruang publik. Menurut saya, terutama di kantor negara itu belum menggunakan bahasa Indonesia secara disiplin,” ujar Mu’ti.
Trigatra Bangun Bahasa
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Mu’ti mendorong penguatan kembali prinsip “Trigatra Bangun Bahasa” yakni mengutamakan Bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing sebagai bagian dari pembangunan peradaban bangsa.
“Bagaimana kita menjadikan bahasa ini berdaulat dan menjadi bagian dari keadaban bangsa,” ujar tokoh Muhammadiyah ini.
Selain mengangkat isu keadaban, forum ini juga membahas strategi penguatan literasi di sekolah, salah satunya melalui pendekatan “deep learning” yang mengedepankan aktivitas membaca dan menulis.
“Kebijakan deep learning ini, PR tuh boleh, tapi PR-nya itu enggak ngerjain soal, tapi bisa tugas membaca buku atau menulis. Itu yang nanti jadi pendekatan literasi,” jelas Mu’ti.

“Sehingga dengan membaca buku itu kita harus menyediakan banyak bacaan, nanti murid ditugaskan untuk menuliskan kembali. Pertama membuat resume dari apa yang dibaca, kedua menuliskan kembali isi bacaan itu dengan bahasa dia sendiri,” lanjut akademisi pakar pendidikan Islam ini.
Tradisi Menulis
Mu’ti menilai tradisi lisan dan tulisan harus mulai diperkuat dari aktivitas sederhana, seperti menulis pengalaman pribadi atau membaca koran.
“Tradisi-tradisi menulis itu harus kita bangun dari hal-hal yang simpel. Terus aja dirutinkan sehingga menjadi kebiasaan,” imbuh Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Forum ini melibatkan praktisi hingga Duta Bahasa sebagai mitra kolaboratif. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Hafidz Muksin bertindak sebagai moderator dialog utama, yang turut dihadiri oleh anggota Komisi X DPR RI Denny Cagur.
Kegiatan ini menegaskan kembali pentingnya menjadikan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai alat penumbuhan empati, karakter luhur, dan penguatan identitas kebangsaan di tengah tantangan era digital dan degradasi etika berbahasa.