
Pada masa ketika dunia kontemporer dikendalikan oleh algoritma dan nilai moral mulai kehilangan jangkar, kebebasan Monkey D. Luffy—sang protagonis dalam manga One Piece karya Eiichiro Oda—menjadi refleksi relevan atas perjuangan manusia modern melawan sistem yang diam-diam menentukan arah hidupnya.
Dunia yang Kehilangan Kompas

“Kalau aku menyerah sekarang, impianku akan berakhir di sini.” — Monkey D. Luffy
Di dunia One Piece, lautan bukan sekadar ruang petualangan, melainkan simbol dari ketidakpastian itu sendiri. Grand Line, jalur laut yang menjadi impian setiap bajak laut, tak bisa dipetakan oleh kompas biasa. Para pelaut harus menggunakan alat khusus bernama Log Pose untuk menavigasi pulau demi pulau karena arah magnetik di tiap wilayah selalu berubah.
Begitu pula dunia kita hari ini. Arus informasi, algoritma media sosial, dan kecerdasan buatan telah menciptakan “samudra digital” yang penuh ombak tak terduga. Kompas moral lama kehilangan fungsinya, sementara manusia modern berlayar di antara gelombang data tanpa tahu ke mana sebenarnya hendak menuju.
Jean-François Lyotard (1979) menyebut kondisi ini sebagai zaman postmodern, ketika grand narratives—narasi besar seperti kemajuan, kebenaran, atau moral universal—kehilangan pesonanya. Dunia kini tanpa pusat gravitasi tunggal; makna berserakan di permukaan.
Luffy, yang berlayar tanpa arah pasti, justru menjadi alegori manusia postmodern: berani mencari arti di dunia tanpa peta.
Algoritma sebagai Pemerintah Dunia

“Orang yang menguasai informasi… menguasai dunia.” — Nico Robin
Dalam semesta One Piece, Pemerintah Dunia (World Government) menjaga kekuasaan dengan menghapus sejarah—Void Century—agar masyarakat tak pernah tahu akar penindasan mereka.
Kini, peran itu diambil alih oleh algoritma dan big data. Artificial intelligence menata realitas dengan cara halus, tapi total. Kita tak lagi memilih secara bebas, sebab pilihan kita sudah didesain sebelumnya.
Michel Foucault menyebut kekuasaan modern tidak bekerja melalui paksaan, tetapi melalui normalisasi: ia tidak melarang, tapi menuntun. Algoritma melakukan hal yang sama—membentuk perilaku sosial dengan “rekomendasi,” bukan larangan.
Shoshana Zuboff (2019) dalam The Age of Surveillance Capitalism menulis bahwa kekuasaan digital kini bukan lagi bertumpu pada produksi, melainkan pada ekstraksi perilaku manusia. Kita menjadi sumber daya baru: bukan tenaga kerja, tapi data perilaku.
Dalam dunia postmodern, disiplin berganti menjadi desain—dan kita tunduk pada sistem yang tampak netral, tetapi menentukan segalanya.
Global South dan Log Pose Digital

“Kalau mau tahu dunia luar, berlayarlah. Tapi siaplah menghadapi badai.” — Silvers Rayleigh
Negara-negara Global South kini menghadapi situasi serupa kerajaan kecil di One Piece: berdiri sendiri, tetapi harus tunduk pada izin berlayar dari kekuatan global.
Fenomena ini disebut data dependency—bentuk kolonialisme baru di era digital. Menurut Journal of International Affairs (Columbia University, 2023), lebih dari 70% lalu lintas data dunia dikendalikan oleh korporasi di Amerika Utara dan Eropa. Data dari Selatan dikirim ke Utara, diolah, lalu dijual kembali.
Nick Couldry dan Ulises Mejias (2019) menyebut fenomena ini sebagai data colonialism: perampasan nilai yang kini berwujud ekstraksi informasi. Dunia digital telah melanjutkan kolonialisme dalam bentuk yang paling halus.
Dalam konteks ini, Log Pose modern bukan lagi alat magnetik, melainkan AI literacy dan data sovereignty. Tanpa keduanya, negara-negara Selatan hanya akan berlayar mengikuti arus algoritmik yang dikendalikan oleh pusat kekuasaan teknologi global.
Dunia tanpa Kebenaran Tunggal

“Kebenaran itu ada di dalam hati setiap orang. Tidak ada yang bisa memaksakannya.” — Dr. Hiriluk
One Piece memberi alegori paling postmodern: sejarah adalah konstruksi kekuasaan. Void Century menegaskan bahwa kebenaran dapat dihapus, disusun ulang, dan disembunyikan.
Jean Baudrillard (1981) menyebut era ini sebagai hiperrealitas—ketika kita hidup bukan di dunia nyata, melainkan di antara representasi yang diciptakan media dan algoritma.
Dalam hubungan internasional pun, “demokrasi”, “kebebasan”, dan “kemajuan” kini hanyalah istilah yang bergantung pada siapa yang menulis narasinya—dan siapa yang memiliki datanya. Dunia tidak lagi mengenal kebenaran tunggal, hanya lapisan-lapisan citra seperti Pulau Dressrosa: indah di permukaan, rapuh di bawahnya.
Menjadi Bajak Laut di Dunia Algoritma

“Aku tidak ingin menaklukkan dunia. Aku hanya ingin bebas berlayar!” — Monkey D. Luffy
Seperti Luffy, manusia modern mungkin tak perlu menolak teknologi, tetapi harus berani mempertanyakan siapa yang mengendalikannya.
Kita tidak perlu membakar kapal jika tahu ke mana kapal itu berlayar—dan siapa yang memegang kemudinya.
Oda seolah ingin mengatakan bahwa dunia ini, seperti Grand Line, tak akan pernah bisa dipahami dengan peta siapa pun. Satu-satunya kompas yang bisa dipercaya adalah hati dan kesadaran kritis kita sendiri.
Penutup
Kita hidup di masa ketika sejarah ditulis oleh data dan masa depan ditentukan oleh algoritma.
Di tengah lautan simulasi ini, manusia modern hanya punya satu pilihan: menjadi pelaut yang sadar.
Tidak menolak badai, tetapi memahami arahnya.
Tidak menentang dunia, tetapi menavigasinya dengan kebebasan.
Seperti Luffy, mungkin One Piece sejati bukanlah harta di ujung dunia—melainkan kesadaran bahwa kita masih bisa memilih arah sendiri, bahkan di tengah arus yang mencoba menentukan segalanya.