
Menjelang KTT ASEAN ke-47 2025 pada 26–28 Oktober 2025 di Kuala Lumpur, Asia Tenggara bersiap untuk norma baru perlindungan lingkungan dan HAM. Di tengah semangat itu, muncul pertanyaan: Apakah negara-negara sangat siap menjadikan tanggung jawab global sebagai bagian dari kedaulatan?
KTT ASEAN 2025 akan menjadi forum penting untuk membahas isu lingkungan dan hak asasi manusia di kawasan. Melalui ASEAN Declaration on Environmental Rights (ADER), negara-negara anggota berupaya menegaskan bahwa hak atas lingkungan yang bersih dan berkelanjutan adalah bagian dari hak dasar setiap warga kawasan.
Namun, sisi lain dari semangat deklaratif ini menciptakan pertanyaan dasar: Apakah komitmen tersebut akan benar-benar diwujudkan dalam kebijakan nasional, atau hanya menjadi simbol diplomatik semata? Di Indonesia, misalnya, berbagai proyek strategis nasional— dari pembangunan Ibu Kota Nusantara hingga program food estate di Merauke, Papua—menunjukkan bahwa ambisi pembangunan sering kali berhadapan dengan prinsip tanggung jawab terhadap hak asasi manusia dan lingkungan.

Pertanyaan ini mencerminkan perubahan besar dalam hukum internasional, bahwa kedaulatan negara kini tidak lagi absolut, tetapi mengandung tanggung jawab global untuk melindungi hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
Transnasionalisasi Hukum dan HAM
Batasan transnasionalisasi hukum dan HAM antara sistem hukum nasional, regional, dan internasional kini semakin kabur. Norma HAM internasional saat ini bekerja lintas negara, bahkan memengaruhi kebijakan domestik.
Hukum internasional tidak lagi sekadar mengatur hubungan antarnegara, tetapi juga hubungan antara negara dan warganya, terutama ketika kebijakan pembangunan berdampak pada hak hidup dan hak lingkungan. Konsep ini sejalan dengan pendekatan Human Rights-Based Approach (HRBA) yang menekankan pembangunan tidak dapat dipisahkan dari penghormatan dan pemenuhan HAM, sehingga setiap kebijakan pembangunan harus menjamin partisipasi masyarakat, keadilan, serta akuntabilitas negara dan korporasi.
Pembangunan Berbasis HAM: Tantangan Nyata di Lapangan
Di Indonesia, tantangan penerapan HRBA terlihat jelas pada proyek Food Estate di Merauke, Papua. Proyek ini dicanangkan sebagai solusi terhadap ketahanan pangan. Namun, kebijakan tersebut justru berimplikasi pada konflik agraria, hilangnya hak atas tanah masyarakat adat, dan menurunnya kualitas lingkungan.

Adanya temuan Komnas HAM—yang menunjukkan bahwa proyek tersebut dijalankan tanpa adanya persetujuan bebas—didahulukan dan diinformasikan (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC) dari masyarakat adat. Padahal, prinsip ini telah diakui secara internasional melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) dan ILO Convention No. 169.
Maka, proyek yang dianggap sebagai bagian dari kepentingan nasional ini berpotensi tidak sejalan dengan standar hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan yang diakui secara global. Keadaan ini mencerminkan dilema klasik yang dihadapi banyak negara berkembang: Bagaimana menyeimbangkan ambisi pembangunan yang cepat dengan komitmen terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional?
ASEAN dan Norma Baru Hak Lingkungan
Asia Tenggara sedang bergerak menuju norma baru melalui rencana ASEAN Declaration on Environmental Rights (ADER) di mana diadopsi pada KTT ASEAN 2025 yang akan menegaskan bahwa hak atas lingkungan hidup yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan sebagai bagian dari HAM di kawasan.
Langkah ini mencerminkan pergeseran kebijakan yang signifikan dalam dinamika regional ASEAN—dari prinsip non-interference menuju pengakuan bahwa isu lingkungan dan HAM bersifat lintas batas. Namun, keberhasilan deklarasi ini akan sangat bergantung pada komitmen politik negara anggota untuk menerapkannya, bukan sekadar menandatanganinya.

Dari Kedaulatan ke Tanggung Jawab
Transnasionalisasi hukum menunjukkan bahwa kedaulatan tidak lagi sinonim dengan kebebasan mutlak, tetapi dengan tanggung jawab. Saat ini, negara memiliki kewajiban hukum dan moral guna memastikan kebijakan domestik tidak merusak hak asasi manusia atau lingkungan global.
Konsep ini selaras dengan Responsibility to Protect (R2P), yang menegaskan bahwa kedaulatan negara berarti tanggung jawab untuk melindungi, bukan hak untuk mengabaikan. Prinsip serupa kini berkembang dalam hal pembangunan dan lingkungan: Responsibility to Sustain—kewajiban bersama untuk menjaga keberlanjutan hidup manusia dan bumi.
Jalan ke Depan: Tiga Langkah Konkret
Agar pembangunan nasional selaras dengan tanggung jawab global, ada tiga langkah penting yang dapat ditempuh Indonesia dan negara-negara ASEAN.
Pertama, integrasi HRBA ke kebijakan pembangunan. Pemerintah perlu menjadikan pendekatan berbasis HAM sebagai kerangka utama dalam penyusunan dan evaluasi proyek strategis nasional. Setiap proyek besar harus melalui human rights impact assessment yang transparan dan melibatkan masyarakat terdampak.

Kedua, memperkuat akuntabilitas lintas sektor. Perusahaan dan investor yang terlibat dalam proyek pembangunan wajib patuh pada UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) dan pemerintah harus menegakkan tanggung jawab korporasi terhadap pelanggaran hak adat, lingkungan, dan sosial.
Terakhir, mendorong kerja sama regional yang mengikat. ASEAN diharapkan tidak berhenti pada tataran deklarasi saja, tetapi dapat melangkah menuju implementasi yang nyata dan terukur dengan mekanisme pemantauan dan penegakan hak lingkungan yang harus diperkuat, misalnya melalui pembentukan ASEAN Environmental Rights Commission yang independen.
Langkah-langkah ini tidak hanya untuk memenuhi standar internasional, tetapi juga untuk memastikan bahwa pembangunan tidak menjadi sumber ketidakadilan sosial dan ekologis. Pembangunan berkelanjutan tidak boleh hanya dipahami sebagai proyek ekonomi, tetapi harus menjadi proyek kemanusiaan.
Di tengah dunia yang semakin terhubung, kedaulatan sejati bukan terletak pada kebebasan bertindak, melainkan pada kemampuan untuk menunaikan tanggung jawab secara etis dan berkeadilan.