
Lima mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya yang tergabung dalam komunitas Pecinta Alam 17 Agustus 1945 (Pataga) menunjukkan kepedulian sosial dan jiwa kemanusiaannya dengan ikut membantu Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) dalam proses evakuasi korban runtuhnya Pondok Pesantren Al-Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur.
Peristiwa tragis yang terjadi pada 29 September 2025 itu menelan puluhan korban luka dan jiwa akibat ambruknya bangunan asrama santri.
Lima mahasiswa Untag Surabaya bekerja berdampingan dengan tim Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) untuk megevakuasi korban. Kelima mahasiswa tersebut adalah Cahyo Dwi Ardianto (Teknik Industri), Dimas Pramudito (Teknik Mesin), Raihan Avib Firmansyah (Ilmu Komunikasi), Rizki Febriansyah (Teknik Informatika), dan Ahmad Raihan (Ilmu Hukum).
Mereka bergabung dengan tim Basarnas dan relawan dari berbagai daerah dalam proses evakuasi yang berlangsung lebih dari satu minggu untuk melakukan evakuasi terhadap puluhan korban yang tertimpa reruntuhan.
“Beberapa anggota Pataga memang tergabung dalam tim SAR Surabaya. Begitu mendapat informasi dari Basarnas, kami langsung menuju lokasi. Kami bertugas di lapangan lebih dari seminggu, membantu proses evakuasi siang dan malam secara shift,” ungkap Dimas Pramudito, Rabu (15/10) malam.

Dimas menjelaskan lebih lanjut mengenai peran timnya di lapangan. “Kami membersihkan petugas, korban, dan peralatan dari debu semen serta asbes yang berbahaya bagi pernapasan. Kami juga mensterilkan alat pelindung diri dan menjaga higienitas pos SAR agar tim tetap sehat dan aman selama bertugas,” jelas Dimas.
Sementara itu Raihan mengaku bahwa pengalaman ini menjadi pelajaran yang tak terlupakan. “Ini pengalaman besar dan pertama kali bagi kami menghadapi situasi dengan korban sebanyak itu. Biasanya kami hanya membantu pencarian orang hilang di gunung,” ucapnya.
Raihan menjelaskan asal wawasan mereka terkait evakuasi korban bencana. “Untungnya kami sudah mendapat banyak pelatihan dan praktik lapangan di bawah bimbingan SAR saat bergabung di Pataga, jadi bisa langsung sigap membantu,” katanya.
Ada pun Cahyo Dwi Ardianto mengaku bahwa kegiatan evakuasi ersebut sempat mengganggu jadwal kuliahnya. Namun, ia menegaskan bahwa tugas kemanusiaan adalah prioritas.
“Jujur, beberapa kelas saya tertinggal. Tapi melihat keluarga korban menangis dan berharap, itu sangat menggetarkan hati. Kami tidak tega berhenti sebelum semua selesai,” ungkapnya haru.
Aksi nyata mahasiswa Pataga ini menjadi bukti bahwa semangat nasionalisme dan kepedulian sosial yang ditanamkan di kampus mereka bukan sekadar teori. Jiwa kemanusiaan, gotong royong, dan tanggung jawab sosial yang mereka tunjukkan mencerminkan nilai-nilai patriotik yang selalu dihidupkan di lingkungan kampus—bahwa menjadi mahasiswa tidak hanya soal prestasi akademik, tetapi juga tentang keberanian untuk hadir dan memberi manfaat bagi sesama.