
Kehilangan ayah bukan hanya kehilangan sosok pelindung, tetapi juga kehilangan separuh peta emosional diri. Bagi banyak anak perempuan, kepergian ayah juga berarti kehilangan sosok yang selama ini menjadi sandaran, pelindung, dan contoh tentang bagaimana seharusnya mencintai serta dipercaya.
Pada masa remaja akhir, masa ketika otak sedang sibuk belajar mengatur emosi dan memahami kasih sayang kehilangan ayah menjadi pelajaran yang terlalu dini tentang rasa sakit dan kehilangan.
Dari sudut pandang biopsikologi, duka bukan sekadar perasaan yang melankolis, melainkan juga reaksi biologis tubuh dan otak terhadap kehilangan. Sistem saraf, hormon, dan jaringan otak bekerja bersama dalam proses yang kompleks.
Pendekatan biopsikologi membantu kita memahami bagaimana emosi dan biologi saling berinteraksi, serta bagaimana otak manusia beradaptasi melalui neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak membentuk jalur saraf baru setelah trauma (Doidge, 2007).
Dengan kata lain, berduka bukan hanya soal hati yang hancur, tetapi juga tentang bagaimana otak dan tubuh belajar menata ulang keseimbangan setelah kehilangan seseorang yang dicintai.
Reaksi Biologis terhadap Kehilangan
Ketika seseorang kehilangan figur penting seperti ayah, tubuh akan menunjukkan respons stres yang kuat. sistem limbik di otak terutama amigdala dan hipokampus menjadi pusat aktivitas emosional yang intens. Amigdala memicu reaksi emosional seperti kesedihan dan kecemasan, sementara hipokampus menyimpan memori emosional yang berkaitan dengan sosok ayah (LeDoux, 2000).
Akibat aktivasi yang berlebihan, seseorang bisa sulit mengendalikan emosi, merasa kosong, atau mengalami mimpi buruk. Dalam situasi ini, kelenjar adrenal akan melepaskan kortisol, hormon stres utama yang meningkatkan detak jantung, mengganggu tidur, dan menurunkan konsentrasi (Carlson, 2014).
Selain itu, hormon oksitosin yang berperan dalam membentuk rasa aman dan kasih sayang juga memiliki peran penting. Kehilangan figur yang menjadi sumber rasa aman dapat menurunkan kadar oksitosin, menimbulkan perasaan terasing, dan meningkatkan rasa kesepian (Heinrichs et al., 2009).
Namun, hubungan sosial yang hangat, seperti dukungan dari ibu, teman, atau komunitas, dapat membantu meningkatkan oksitosin dan mempercepat pemulihan emosional.
Pada remaja perempuan, reaksi biologis ini lebih kuat karena pengaruh hormon estrogen, yang memperkuat koneksi saraf pada area otak yang berhubungan dengan emosi (Taylor, 2006). Akibatnya, duka kehilangan ayah dapat menimbulkan gejala seperti kecemasan, perasaan hampa, dan perubahan suasana hati yang tajam.
Dalam hal ini, duka bukan hanya perasaan abstrak, tetapi juga fenomena fisiologis yang dapat diamati melalui respons tubuh. Respons stres yang berkepanjangan bahkan bisa mengganggu keseimbangan hormon dan fungsi imun tubuh (Luecken, 2000).

Kehilangan Ayah dan Perkembangan Emosi Remaja Perempuan
Figur ayah memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan identitas emosional dan sosial anak perempuan. Ayah yang hadir secara emosional membantu anak mengembangkan rasa aman, harga diri, serta kemampuan mengatur perasaan (Kail & Cavanaugh, 2019).
Ketika figur ini hilang, baik karena kematian maupun ketidakhadiran emosional, terjadi gangguan pada perkembangan di korteks prefrontal (prefrontal cortex) bagian otak yang berfungsi mengendalikan impuls, mengambil keputusan, dan menilai risiko.
Menurut Davidson dan Begley (2012), lemahnya konektivitas antara amigdala dan korteks prefrontal dapat membuat seseorang lebih sulit mengendalikan emosi dan menghadapi stres. Dalam konteks anak perempuan yang kehilangan ayah, hal ini dapat memunculkan perasaan kehilangan arah, kesulitan mempercayai orang lain, atau perubahan suasana hati yang ekstrem.
Artinya, kehilangan ayah di masa remaja bukan hanya meninggalkan luka emosional, tetapi juga mengubah cara otak memproses dan mengatur perasaan.
Pemulihan Melalui Neuroplastisitas dan Dukungan Sosial
Meski kehilangan dapat menimbulkan luka mendalam, otak memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi melalui proses yang disebut neuroplastisitas. Proses ini memungkinkan otak membentuk koneksi saraf baru setelah mengalami trauma atau kehilangan (Doidge, 2007).
Dukungan emosional dari ibu, keluarga, atau lingkungan sosial dapat membantu menurunkan kadar kortisol dan meningkatkan hormon oksitosin, yang menumbuhkan rasa nyaman dan kedekatan.
Kegiatan sederhana seperti menulis jurnal, berbagi cerita dengan teman, mengikuti terapi, atau melakukan aktivitas spiritual dapat membantu otak memproses pengalaman emosional dan menata ulang keseimbangan biologis. Dengan cara ini, tubuh dan pikiran bekerja sama dalam memulihkan diri.
Bagi banyak anak perempuan, proses berduka justru menjadi perjalanan menuju kedewasaan emosional belajar memahami cinta tanpa kehadiran fisik ayah, tetapi tetap merasakan kehadirannya melalui nilai, kenangan, dan karakter yang diwariskan.

Kehilangan ayah bagi anak perempuan merupakan pengalaman yang kompleks, melibatkan interaksi antara biologis dan psikologis. Dari sudut pandang biopsikologi, duka tidak hanya berbentuk kesedihan, tetapi juga perubahan fisiologis seperti meningkatnya hormon stres, terganggunya keseimbangan saraf, hingga perubahan struktur otak.
Namun, manusia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk bertahan dan beradaptasi. Dengan dukungan sosial yang tepat dan proses refleksi emosional, otak dapat beradaptasi melalui neuroplastisitas, membentuk jalur baru untuk memahami dan menerima kehilangan.
Pada akhirnya, kehilangan ayah bukan hanya kisah tentang berduka, tetapi juga tentang bertumbuh. Tentang bagaimana tubuh dan pikiran belajar menata ulang cara merasa, mencintai, dan mempercayai dunia lagi. Dalam sunyi kehilangan, seorang anak perempuan sebenarnya sedang belajar menemukan kembali dirinya sendiri.