
Falling in love is easy, staying in love is the real challenge. Di awal hubungan, semuanya terasa seperti film romantis, Ladies. Chat yang rutin, kencan penuh tawa, dan dunia seolah cuma milik berdua. Namun seiring berjalannya waktu, cinta diuji oleh rutinitas, kesibukan, dan realita hidup yang nggak selalu manis.
Ekspektasi-ekspektasi yang dibangun di awal hubungan, lambat laun akan menemukan realita bahwa menjalin hubungan dengan seseorang artinya kita harus siap untuk menerima baik buruknya. Ketidaksiapan inilah yang kemudian membuat banyak hubungan kandas atau nggak bertahan lama.
4 Fase dalam Hubungan Asmara
Dilansir Verywell Mind, penelitian dari The Kinsey Institute mengungkapkan bahwa hubungan romantis seseorang umumnya melalui empat fase, dan banyak pasangan yang justru goyah di fase ketiga, saat cinta diuji paling keras.
Fase 1: The Euphoric Stage (6–24 bulan)

Fase ini merupakan masa “honeymoon” ketika segalanya terasa indah dan menggebu-gebu. Di fase ini, otak memproduksi banyak dopamin, hormon yang menciptakan sensasi bahagia seperti efek candu. Sebaliknya, bagian otak yang memproses penilaian negatif justru menurun aktivitasnya di fase ini.
Maka dari itu, kekurangan pasangan sering kali luput dari perhatian. Kamu mungkin tahu dia pelupa atau cuek, tapi rasanya semua bisa dimaafkan. Dunia seolah berputar hanya di sekitar kalian berdua. Sayangnya, fase penuh euforia ini nggak berlangsung selamanya dan biasanya mereda setelah dua tahun.
Fase 2: The Early Attachment Stage (1–5 tahun)

Setelah masa euforia berakhir, hubungan mulai mencari ritme yang lebih stabil. Di sinilah cinta berubah menjadi keterikatan yang lebih dalam. Otak memproduksi hormon oksitosin dan vasopresin, dua zat yang bikin kamu merasa aman, nyaman, dan tenang bersama pasangan.
Tanda kamu sudah masuk fase ini adalah ketika kamu akhirnya bisa tidur nyenyak lagi tanpa terus-terusan mikirin dia. Hubungan terasa lebih realistis atau kamu mulai mengenal pasangan apa adanya, tahu kelebihannya sekaligus kekurangannya, tapi tetap memilih untuk bertahan. Di tahap ini, fondasi kepercayaan dan rasa saling memiliki mulai terbentuk.
Fase 3: The Crisis Stage (5–7 tahun)

Nah, ini fase yang paling berat dan sering jadi titik balik hubungan. Di fase ini, cinta akan diuji oleh krisis kehidupan nyata. Bisa karena stres pekerjaan, perubahan prioritas, munculnya anak, atau komunikasi yang mulai renggang.
Di tahap ini, banyak pasangan mulai merasa “berjarak”, meskipun masih tinggal serumah atau masih sering bertemu. Konflik kecil terasa membesar, dan romantisme seakan memudar. Tapi kalau bisa menghadapi fase ini dengan komunikasi terbuka, empati, dan kesabaran, hubungan justru akan naik level. Karena setiap hubungan sebenarnya butuh krisis dan konflik untuk berkembang.
Fase 4: The Deep Attachment Stage (7 tahun ke atas)

Setelah badai reda, datanglah ketenangan. Di fase ini, pasangan sudah saling memahami dengan lebih dalam dan tahu cara melewati konflik tanpa drama. Hubungan terasa lebih tenang, matang, dan stabil, bukan karena nggak ada masalah, tapi karena keduanya tahu cara menghadapinya.
Fase ini digambarkan sebagai masa penuh rasa aman. Ketika pasangan sudah bersama selama bertahun-tahun, hubungan akan terasa tenang dan nyaman. Di tahap ini, cinta bukan lagi soal intensitas, tapi soal kedekatan emosional yang kuat dan rasa percaya yang kokoh. Kalau kamu beruntung, fase ini bisa bertahan seumur hidup lho!
Untuk menjaga agar hubunganmu dengan pasangan bisa bertahan lama, kamu bisa terus melakukan hal-hal baru bersama. Aktivitas yang fresh dan menantang terbukti bisa menyalakan kembali area otak yang berkaitan dengan rasa jatuh cinta.
Bisa sesederhana mencoba hobi baru, traveling ke tempat asing, atau sekadar berganti rutinitas bersama. Intinya, jangan biarkan hubungan jadi monton. Cinta yang langgeng bukan tentang siapa yang paling romantis, tapi siapa yang mau terus belajar mencintai, meski situasi sulit sempat mengguncang.