
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penerapan kewajiban atau mandatori campuran bioetanol 10 persen (E10) pada bensin (gasoline) mulai berlaku pada 2028.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, mengatakan Kementerian ESDM tengah membahas Keputusan Menteri (Kepmen) terkait pentahapan mandatori bioetanol.
“Nanti kalau ada mandatori, baru nanti keluar Kepmen. Jadi kita sedang membahas Kepmen, karena kepmen pentahapannya itu menjadi acuan dari para investor-investor atau pengusaha-pengusaha,” katanya saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Selasa (14/10).
Saat ditanya terkait kapan kemungkinan mandatori E10 berlaku alias diwajibkan, Eniya menyebutkan kebijakan itu akan berlaku tahun 2028. Bioetanol akan dicampurkan kepada BBM nonsubsidi atau PSO terlebih dahulu.
“Pak Menteri bukannya sudah sebut ya? 2-3 tahun, sekitar 2028. Non-PSO dulu,” ungkap Eniya.

Penerapan bioetanol masih dalam proses uji coba pasar oleh PT Pertamina (Persero) dengan BBM Pertamax, menjadi Pertamax Green 95 dengan campuran 5 persen (E5).
Eniya mengatakan, uji coba pasar Pertamax Green 95 akan berlangsung hingga tahun depan. Dia berharap permintaan masyarakat terhadap produk tersebut terus meningkat.
Dia menyebutkan, ketika E10 diterapkan secara wajib, kebutuhan pasokan etanol diperkirakan mencapai 1,2 juta kiloliter (KL). Tingginya pasokan akan mengikuti tren pergeseran konsumsi masyarakat dari BBM subsidi ke nonsubsidi.
“E10 diterapkan berarti kita perlu 1,2 juta kiloliter itu untuk non-PSO dulu. Jadi itu non-PSO juga kita harapkan konsumsinya makin tinggi. Karena kan sekarang trennya dari PSO sudah ke non-PSO kan,” tuturnya.
Meski begitu, Eniya belum bisa menentukan apakah mandatori bioetanol di Indonesia akan langsung berlaku sebesar 10 persen atau dimulai E5 terlebih dahulu. Sebelumnya, Kementerian ESDM menargetkan mandatori E5 berlaku pada 2026.

“Kepmennya lagi dibahas, Kepmen itu akan mandatori E5 dulu atau bagaimana, ini kan lagi dibahas dengan Pak Wamen (ESDM),” imbuh Eniya.
Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia buka suara terkait bioetanol yang disorot publik sebagai BBM yang tidak berkualitas. Menurutnya, bioetanol bisa menjadi solusi penurunan impor BBM Indonesia yang masih besar.
Bahlil mencatat, total kebutuhan bensin masyarakat sebesar 40-42 juta ton per tahun, sementara kapasitas produksi nasional sekitar 14-15 juta ton, sehingga Indonesia masih perlu mengimpor bensin sekitar 25-27 juta ton per tahun.
Dia berharap mandatori bioetanol bisa menyamai biodiesel yang saat ini sudah mencapai campuran 40 persen (B40). Adapun campuran 10 persen pada biodiesel sudah diterapkan sejak tahun 2015.
“Kita mencoba belajar dari situ. Kesuksesan biodiesel ini kita mau terapkan di etanol. Etanol ini adalah hasil bahan campuran untuk bensin yang tujuannya adalah kedaulatan energi kita,” jelas Bahlil saat penandatanganan Nota Kesepahaman dengan BPS.
Bahlil menyebutkan, etanol yang dihasilkan dari molase tebu dan singkong juga bisa menciptkan lapangan pekerjaan baru. Selain itu, bioetanol juga sudah diterapkan banyak negara, misalnya Brasil dan India.
“Brasil itu 27 persen mandatori, India 20 persen mandatori, Amerika Serikat 10 persen mandatori. Tapi di beberapa negara bagian sudah 85 persen, bahkan di Brasil di beberapa negara bagian di pompa bensinnya itu karena dia punya etananol cukup langsung bikin E100,” ujarnya.
Dengan begitu, dia pun mempertanyakan kritik terhadap bioetanol dan dampaknya kepada kualitas mesin kendaraan, yang menurutnya datang dari orang-orang yang terlalu pintar.
“Nah kita kok masih dipersoalkan hal-hal yang, ya mungkin sekolahnya terlalu pintar kali mungkin, karena saya sekolahnya di Google enggak ada kali ya,” imbuh Bahlil.