
Praktik pembalakan liar kayu meranti terjadi di hutan yang terletak di Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Pembalakan liar itu merusak seluas 730 hektare kawasan hutan.
Praktik ini dibongkar oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang terdiri Satgas Garuda, Kementerian Kehutanan, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan BPKP.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menyebut pembalakan liar tersebut telah merusak ekosistem flora dan fauna yang ada di sana.
“Ekosistem ini kan ada flora dan fauna yang rusak,” kata Anang kepada wartawan, Rabu (15/10).
Hutan di Pulau Sipora memiliki luas total 31 ribu hektare. Di dalamnya, hidup berbagai hewan endemik, misalnya bokkoi (Macaca pagensis), joja (Presbytis potenziani), bilou (Hylobates klosii), dan simakobu (Nasalis concolor siberu). Adapula berbagai jenis flora yang tumbuh di sana.
Keanekaragaman hayati ini tercipta karena secara geologis Pulau Sipora telah terpisah dari daratan Sunda sejak zaman Pleistosen pertengahan atau sekitar 500 ribu hingga 1 juta tahun yang lalu.
Fenomena ini telah menciptakan proses evolusi bagi flora dan fauna yang hidup di sana.

Menurut Anang, aksi pembalakan liar yang terjadi di sana membutuhkan waktu lama untuk dipulihkan. Bahkan, menurut penelitian, dibutuhkan waktu hingga 1 abad.
“Untuk membesarkan pohon meranti sebesar tersebut menurut bidang kehutanan butuh waktu 60 tahun ke atas bisa sampai 100 tahun. Dan perlu waktu lama dan biaya besar untuk memulihkan kehidupan flora dan fauna di hutan tersebut,” ucap Anang.
Dari segi materil, Anang menambahkan, pembalakan liar juga telah merugikan negara hingga miliaran Rupiah.
“Dari kegiatan illegal logging tersebut diperkirakan negara dirugikan Rp 239 miliar dengan rincian total kerusakan ekosistem yang cukup besar diperkirakan Rp 198 miliar dan Rp 41 miliar untuk nilai ekonomi kayu tersebut,” paparnya.
Dua Tersangka Dijerat

Dalam praktik pembalakan liar itu, sudah dua pihak yang dijerat sebagai tersangka. Mereka adalah tersangka perorangan berinisial IM dan tersangka korporasi PT Berkah Rimba Nusantara (BRN).
Praktik ini terungkap ketika Satgas PKH menemukan 4.610 meter kubik kayu bulat meranti ilegal. Kayu tersebut diangkut menggunakan tongkang Kencana Sanjaya & B dan tugboat Jenebora l dan kemudian diamankan di Pelabuhan Gresik, Jawa Timur.
Modusnya, para tersangka melakukan pemalsuan dokumen legalitas kayu. PT BRN mengantongi Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) seluas 140 hektare. Dokumen tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa kayu yang ditebang merupakan barang yang sah dan berizin.
Padahal, kayu yang diperoleh berasal dari hutan kawasan yang tidak berizin. Diduga di luar dari 140 hektare itu.
Pembalakan liar itu mengakibatkan kerusakan hutan mencapai 730 hektare di Hutan Sipora, termasuk jalan hauling dalam kawasan hutan produksi seluas 7,9 hektare.
Perkara ini kini ditangani bersama oleh Ditjen Gakkum Kementerian Kehutanan dan Kejaksaan Agung. Tersangka dijerat dengan UU Kehutanan dan UU Pencegahan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar.