
Kejaksaan Agung (Kejagung) menjerat dua orang tersangka pembalakan liar kayu meranti yang ditebang dari Hutan Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, menyebut bahwa dua orang tersangka itu yakni tersangka perorangan berinisial IM dan tersangka korporasi berinisial PT BRN.
“Satu tersangka perorangan, satu tersangka korporasi,” ujar Anang kepada wartawan, di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (14/10).
Adapun Tim Operasi Gabungan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang terdiri dari Satgas Garuda, Kementerian Kehutanan, Kejagung, BPKP, dan Kementerian Perhubungan berhasil mengamankan 4.610 meter kubik kayu bulat meranti ilegal asal Hutan Sipora, Kepulauan Mentawai.
Kayu tersebut diangkut menggunakan tongkang Kencana Sanjaya & B dan tagboat Jenebora l dan kemudian diamankan di Pelabuhan Gresik, Jawa Timur.
“Tim Satgas PKH sudah melakukan kegiatan operasi terhadap penyitaan terhadap ilegal logging kayu, kayu meranti kurang lebih jumlahnya 4.600 meter kubik kayu bulat ilegal yang tertangkap basah di daerah Gresik, Jawa Timur,” kata Anang.
“Dan dari hasil pengembangan ternyata barang ini berasal dari Hutan Sipora, Kepulauan Mentawai,” jelas dia.
Ia menerangkan, penindakan ini merupakan hasil pengembangan operasi kawasan Hutan Sipora seluas 31 ribu hektare, yang mengungkap praktik pembalakan liar terorganisir oleh PT Berkah Rimba Nusantara (BRN) dan seorang individu berinisial IM.
“Perusahaan di sini, kayunya ini berasal dari hutan kawasan. Jadi dia PT BRN, dan dengan salah seorang inisial IM,” ungkapnya.
Dalam melakukan pembalakan liar itu, kata Anang, modus yang digunakan adalah pemalsuan dokumen legalitas kayu. Sebenarnya, PT BRN hanya mengantongi Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) seluas 140 hektare.
Ia menyebut, dokumen tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa kayu yang ditebang merupakan barang yang sah dan berizin. Padahal, kayu yang diperoleh berasal dari hutan kawasan yang tidak berizin.
“Modus yang digunakan seolah-olah menggunakan dokumen asli, yang legalitas dari pemilik hak atas tanah yang kurang lebih 100, atau PHAT yang kurang lebih 140 hektare,” ucap dia.
“Ternyata dari hasil ini hampir dari tanah Hutan Sipora, hampir 730 hektare itu menebang di wilayah yang tidak ada izinnya. Nah, ini diduga berasal dari kawasan itu,” imbuhnya.
Ia menerangkan, hasil pembalakan liar itu telah dijual ke daerah Gresik, Jawa Timur, dan ke salah satu pengusaha di daerah Jepara, Jawa Tengah, sejak Juli hingga Oktober 2025.
Akibat pembalakan liar itu, negara pun mengalami kerugian mencapai Rp 239 miliar, yang terdiri dari kerugian ekosistem sebesar Rp 198 miliar dan nilai ekonomi kayu sebesar Rp 41 miliar.
“Dari hasil penghitungan, kerugian kurang lebih hampir Rp 240 miliar. Itu dihitung bahwa itu kerugian ekosistemnya juga, juga dari nilai ekonomi kayunya tersendiri,” tutur dia.
Perkara ini kini ditangani bersama oleh Ditjen Gakkum Kementerian Kehutanan dan Kejaksaan Agung. Adapun pelaku dijerat dengan UU Kehutanan dan UU Pencegahan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar.
“Sanksinya pidana, [dijerat dengan] Undang-Undang Kehutanan. Nanti yang nanganin, karena ini kesalahan, Kejaksaan Agung di bidang Pidum, [menggunakan] UU Kehutanan,” pungkasnya.