
Kejaksaan Agung (Kejagung) membuka peluang untuk mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus pembalakan liar kayu meranti di hutan di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
“Sementara dalam penyidikan dikenakan UU Kehutanan dan bukan hal yang nggak mungkin bisa saja dikenakan UU lain seperti TPPU,” kata Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, kepada wartawan, Rabu (15/10).
Saat ini, sudah dua pihak yang dijerat sebagai tersangka. Mereka adalah tersangka perorangan berinisial IM dan tersangka korporasi bernama PT Berkah Rimba Nusantara (BRN).
Perkara ini kini ditangani bersama oleh Ditjen Gakkum Kementerian Kehutanan dan Kejaksaan Agung. Para tersangka sementara dijerat dengan UU Kehutanan dan UU Pencegahan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar.
Menurut Anang, pengembangan penyidikan bisa dilakukan bergantung pada hasil pendalaman yang dilakukan.
“Kita lihat aja hasil pendalaman penyidikan tim Gakkum,” ucap Anang.

Pembalakan liar itu mengakibatkan kerusakan mencapai 730 hektare di Hutan Sipora, termasuk jalan hauling dalam kawasan hutan produksi seluas 7,9 hektare.
Praktik ini terungkap ketika Satgas PKH menemukan 4.610 meter kubik kayu bulat meranti ilegal. Kayu tersebut diangkut menggunakan tongkang Kencana Sanjaya dan tugboat Jenebora 1 dan kemudian diamankan di Pelabuhan Gresik, Jawa Timur.
Modusnya, para tersangka melakukan pemalsuan dokumen legalitas kayu. Sebenarnya, PT BRN hanya mengantongi Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) seluas 140 hektare.
Namun, dengan dokumen tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa kayu yang ditebang merupakan barang yang sah dan berizin. Padahal, kayu yang diperoleh berasal dari hutan kawasan yang tidak berizin.
Imbas praktik pembalakan liar ini, terjadi kerusakan ekosistem flora dan fauna. Diperkirakan, butuh 60 hingga 100 tahun untuk pemulihannya.