
Kawasan Dukuh Atas dikenal sebagai jantung pergerakan transportasi publik di Jakarta. Di lokasi itu, banyak orang setiap hari berpindah dari MRT ke KRL, dari LRT ke TransJakarta, atau sebaliknya. Namun, di balik keramaian itu, masih banyak pengguna yang mengeluh soal konektivitas antarmoda yang belum sempurna.
Kini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT MRT Jakarta (Perseroda) tengah menyiapkan proyek jembatan melingkar atau bisa disebut jembatan donat karena terinspirasi donut bridge di Yokohama, Jepang.
Struktur melingkar jembatan itu bakal menghubungkan empat kuadran utama BNI, Landmark, UOB, dan Transport Hub yang selama ini terpisah oleh jalan raya dan sungai.
Pembangunan proyek itu ditargetkan rampung pada 2027. Proyek ini diklaim tidak akan menggunakan dana APBD.
Selain untuk pejalan kaki, sebagian area jembatan juga akan difungsikan untuk kegiatan komersial, seperti kafe dan kios UMKM.
Rina (27), pegawai swasta yang setiap hari berpindah dari Transjakarta ke MRT di Dukuh Atas, menyambut antusias rencana pembangunan jembatan tersebut.
“Wah, saya baru tahu bentuknya kayak donat ya. Lucu sih, tapi idenya keren. Soalnya kalau dari Transjakarta ke MRT sekarang tuh agak ribet, harus jalan lumayan jauh. Kalau nanti bisa langsung nyambung, pasti lebih praktis,” ujar Rina kepada kumparan.
Bagi Rina, kemudahan berpindah moda menjadi hal penting. Apalagi saat hujan turun, Rina menyebut lebih nyaman jika berjalan di tempat yang beratap.
“Apalagi kalau lagi hujan, becek dan ramai banget. Jadi kalau nanti ada jembatan baru yang teduh dan langsung nyambung, pasti lebih nyaman,” ungkap Rina.
Dimas (34), pengguna TransJakarta dan MRT, juga menyambut positif proyek ini. Ia menilai kehadiran jembatan melingkar itu bisa jadi langkah besar buat Jakarta menuju sistem transportasi publik yang benar-benar terintegrasi.

“Saya dengar katanya inspirasinya dari Yokohama ya? Keren sih kalau benar. Kalau bisa nyambungin semua moda transportasi di Dukuh Atas, itu bakal ngebantu banget,” ujarnya.
Dimas berharap jembatan tersebut jangan hanya jadi jalur penyeberangan. Tetapi, bisa juga bisa berfungsi sebagai ruang publik tempat orang bisa berinteraksi.
“Harapannya sih bukan cuma tempat lewat, tapi juga bisa jadi tempat istirahat. Ada kursi, ada tempat ngopi kecil, atau ruang buat UMKM. Jadi kayak ruang publik yang hidup, bukan cuma buat jalan aja,” ujar Dimas.
Desain dan Inspirasi dari Jepang
Rencana pembangunan jembatan berbentuk cincin itu muncul setelah Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung meninjau kawasan Dukuh Atas dan menilai integrasinya belum optimal.
Selama ini, konektivitas antarmoda di kawasan itu baru sebagian terwujud, salah satunya lewat Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) yang menghubungkan LRT Jabodebek dengan KRL.
Direktur Utama PT MRT Jakarta (Perseroda) Tuhiyat menjelaskan bahwa desain jembatan melingkar terinspirasi dari struktur serupa di Yokohama, Jepang.

“Empat kuadran yang ada di BNI, Landmark, UOB, dan Transport Hub itu tidak bisa terhubung. Yang hanya terkoneksi adalah Transport Hub dengan UOB karena ada Terowongan Kendal. Selain itu sudah tidak bisa. Bagaimana? MRT punya ide tidak? Nah, kami tawarkan ide itu yang kita lakukan pada saat itu benchmarking ke Yokohama. Yang bentuknya adalah donut bridge,” kata Tuhiyat dalam acara MRT Jakarta Fellowship Program di Wisma Nusantara.
Jembatan ini akan dibangun dengan lebar sekitar 12 meter, tujuh meter untuk jalur pejalan kaki dan pesepeda, sementara lima meter sisanya akan dimanfaatkan untuk kegiatan komersial.
“Sehingga nanti kalau ada di Stasiun Sudirman itu langsung terkoneksi ke sini, langsung terkoneksi ke jembatan. Jadi tidak perlu ke bawah. Jadi akan dimanjakan lah kira-kira orang untuk bisa berjalan,” jelas Tuhiyat.
MRT Jakarta memperkirakan 70 ribu orang per hari akan melintasi jembatan tersebut. Pembangunan juga akan dibiayai dengan skema kerja sama swasta (creative financing), tanpa menggunakan dana pemerintah daerah.
Direktur Pengembangan Bisnis PT MRT Jakarta, Farchad Mahfud, mengungkapkan proyek ini akan dikerjakan bersama Urban Renaissance Agency (UR Agency) dari Jepang.
Kolaborasi ini juga sudah ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pada April 2024.
“Kita akan upayakan tanpa pendanaan pemerintah. Konsepnya sama seperti saat anak usaha kami membangun jembatan di Dukuh Atas,” jelas Farchad.
Menurut kajian MRT Jakarta, saat ini sekitar 75–80 ribu orang beraktivitas di kawasan Dukuh Atas setiap hari. Dengan adanya Jembatan Cincin Donat, jumlah itu berpotensi naik dua kali lipat pada 2030.
“Kalau sampai 2030, mungkin bisa dua kali lipat dari kondisi sekarang,” ujarnya.
Saran dari Pengamat Transportasi

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai proyek jembatan itu merupakan langkah maju dalam mewujudkan konsep Transit Oriented Development (TOD) di Jakarta. Namun, ia mengingatkan agar kenyamanan pejalan kaki juga diperhatikan secara serius.
“Ya kalau pejalan kaki yang senang jalan sih senang, tapi nanti itu kan bentuknya melingkar. Orang bisa capek juga kalau muter terus,” kata Djoko.
Untuk mengatasi itu, Djoko menyarankan agar jembatan dilengkapi fasilitas transvelator, seperti jalur berjalan otomatis yang biasa ditemui di bandara.
“Transvelator itu bisa bantu orang bergerak lebih cepat tanpa lelah. Di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta sudah ada contohnya. Kalau di sini diterapkan, bisa bikin pejalan kaki lebih nyaman,” ujar Djoko.
Selain aspek kenyamanan, ia juga melihat potensi ekonomi dari kehadiran jembatan ini. “Kalau nanti ada UMKM di situ, itu bagus banget. Bisa ngopi, bisa beli makanan ringan. Tapi pastikan biayanya nggak mahal biar usaha kecil juga bisa ikut. Jadi nggak cuma infrastruktur, tapi juga ruang ekonomi baru,” kata Djoko.
UMKM di Kawasan TOD Bakal Dapat Insentif dari Pemprov DKI

Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Syafrin Liputo, menjelaskan konsep pengelolaan kawasan berbasis transit ini berbeda dari pola lama. Jika dulu pembangunan sepenuhnya dikuasai satu pengembang yang memiliki seluruh aset, maka kini setiap pihak yang terlibat bisa ikut mengembangkan kawasan selama mengikuti rencana tata ruang yang ditetapkan pemerintah.
“Di Jakarta, khususnya di Indonesia pada umumnya, terkait dengan pengelolaan kawasan itu, ini hal yang baru. Biasanya ada satu pengembang, dia kuasai seluruh aset, kemudian dia bangun. Kan demikian biasanya,” kata Syafrin.
Menurutnya, dengan sistem TOD, pengelola kawasan tidak harus memiliki lahan secara penuh. Melainkan berperan sebagai konsolidator yang mengoordinasikan pembangunan di wilayah tersebut.
“Tapi sekarang dengan transit oriented development, maka pengelola di kawasan, pengelola kawasan berorientasi transit ini tidak harus memiliki lahannya, tetapi mampu mengkonsolidasikan pembangunan seluruhnya, karena Panduan Rancang Kota (PRK) ditetapkan. Jadi ditetapkan sehingga setiap pengembang di sana itu diberikan insentif,” ujarnya.
Insentif yang dimaksud mencakup kemudahan dalam proses pembangunan hingga potensi keuntungan tambahan melalui pemanfaatan ruang komersial di sekitar kawasan TOD. Contohnya, di kawasan Dukuh Atas, salah satu dari sembilan proyek TOD MRT Jakarta, pengembang akan mendapat kompensasi sesuai kontribusinya dalam pengembangan kawasan.