
Indonesia telah menetapkan target ambisius mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dalam peta jalan besar ini, sektor energi, transportasi, dan industri selalu menjadi sorotan utama penyumbang emisi karbon.
Namun, di sisi lain, sektor perikanan budidaya-terutama tambak udang-perlahan mulai diakui sebagai bagian yang tak kalah penting dalam ekosistem emisi karbon nasional.
Padahal, dibalik gemericik aerator dan gemuruh kincir air tambak, ada jejak karbon (carbon footprint) yang sesungguhnya cukup besar. Pertanyaannya, mungkinkah kolam-kolam udang di pesisir Indonesia bertransformasi dari ‘penyumbang’ emisi menjadi ‘penyerap’ karbon?
Tambak Udang dan Jejak Karbon yang Tersembunyi
Budidaya udang dikenal sebagai subsektor bernilai tinggi. Namun, di balik keuntungan ekonominya, terdapat emisi karbon yang tidak kecil, baik dari energi listrik untuk aerasi, penggunaan pakan berbasis tepung ikan, hingga degradasi ekosistem mangrove yang dahulu dikonversi menjadi tambak.
Menurut studi Boyd et al. (2022) dalam Aquaculture Reports, rata-rata jejak karbon produksi udang budidaya mencapai 10–30 kg CO₂-eq per kg produk, tergantung intensitas sistem dan sumber energinya. Sementara itu, WWF (2021) mencatat bahwa tambak intensif di Asia Tenggara berkontribusi signifikan terhadap emisi metana dan nitrous oxide akibat penguraian bahan organik di dasar kolam.
Tambak-tambak di Indonesia, terutama yang menggunakan sistem intensif dan superintensif, umumnya masih bergantung pada energi listrik berbasis fosil. Dengan asumsi satu tambak berkapasitas 1 hektare menggunakan 20 HP aerator selama 20 jam per hari, maka konsumsi listrik bisa mencapai lebih dari 300 kWh per hari, setara emisi sekitar 200 kg CO₂ per hari (IEA, 2023).
Dilema Produksi dan Emisi
Ironisnya, semakin tinggi produktivitas tambak, semakin besar pula jejak karbon yang ditinggalkan. Di sisi lain, permintaan global terhadap udang berlabel ‘hijau’ atau carbon neutral shrimp terus meningkat. Pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat, misalnya, kini mulai mengaitkan sertifikasi eco-label dengan emisi karbon produksi (FAO, 2023).
Inilah dilema yang dihadapi Indonesia sebagai produsen udang utama dunia. Pemerintah menargetkan ekspor udang senilai USD 4,25 miliar pada 2024 melalui Shrimp Estate Program (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2022). Namun tanpa inovasi rendah karbon, keberlanjutan target itu bisa berseberangan dengan komitmen iklim nasional.
Menuju Budidaya Rendah Karbon
Untuk mengurangi jejak karbon, langkah-langkah mitigasi di tingkat tambak menjadi sangat penting. Beberapa pendekatan yang kini dikembangkan antara lain:
1. Transisi Energi Tambak:
Penggunaan panel surya untuk aerator dan pompa air mulai diujicobakan di beberapa daerah, seperti Situbondo dan Lampung. Studi oleh Yudianto et al. (2023) menunjukkan bahwa pemanfaatan energi surya dapat menurunkan emisi hingga 35–50% dibandingkan sistem konvensional.
2. Pakan Berkelanjutan:
Pakan menjadi kontributor terbesar emisi karbon di sektor akuakultur (sekitar 60–70%). Inovasi pakan berbasis bahan nabati lokal atau limbah agroindustri menjadi solusi potensial. Penelitian Hasan et al. (2022) dari IPB University menunjukkan bahwa substitusi tepung ikan dengan tepung kedelai fermentasi dapat menurunkan emisi hingga 20% per siklus produksi.
3. Manajemen Sisa Organik:
Lumpur tambak yang kaya bahan organik dapat diolah menjadi bio-kompos atau biogas, bukan sekadar limbah. Proyek percontohan oleh Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara bahkan menunjukkan potensi pengurangan emisi metana dari dasar kolam hingga 40%.
4. Restorasi Mangrove di Sekitar Tambak:
Ekosistem mangrove terbukti mampu menyerap karbon hingga 5 kali lebih tinggi dari hutan darat (Alongi, 2020). Integrasi sistem tambak-mangrove (silvofishery) menjadi langkah strategis untuk mengimbangi emisi sekaligus memulihkan ekosistem pesisir.

Peluang Carbon Credit dari Tambak Udang
Konsep carbon credit membuka peluang ekonomi baru bagi pembudidaya yang mampu membuktikan penurunan emisinya. Melalui skema voluntary carbon market, pembudidaya dapat menjual ‘sertifikat’ hasil reduksi emisi kepada pihak ketiga.
Beberapa proyek percontohan global seperti Blue Carbon Initiative di Asia Tenggara mulai melibatkan petambak dalam sistem sertifikasi karbon berbasis komunitas (UNEP, 2022). Di Indonesia, peluang ini mulai dilirik. Misalnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) tengah menyiapkan mekanisme penghitungan dan verifikasi emisi di sektor kelautan.
Jika diterapkan dengan sistem pengukuran yang jelas, misalnya melalui Life Cycle Assessment (LCA) dan carbon accounting platform maka setiap kilogram udang yang dihasilkan bisa memiliki nilai ganda: nilai ekonomi dan nilai ekologis.
Kolaborasi untuk Transisi Hijau
Transformasi menuju budidaya rendah karbon tidak bisa hanya mengandalkan petambak. Diperlukan sinergi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta. Pemerintah dapat memperkuat insentif bagi tambak yang menggunakan energi terbarukan, sementara lembaga keuangan perlu mengembangkan ‘green financing scheme’ bagi UMKM perikanan.
Selain itu, keterlibatan komunitas dan lembaga sertifikasi juga penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas proses penghitungan emisi. Sebab tanpa kejelasan data, program penurunan emisi di sektor budidaya akan sulit mendapatkan kepercayaan pasar global.
Menatap 2060: Dari Kolam ke Komitmen Global
Mewujudkan tambak udang rendah karbon bukan sekadar wacana lingkungan, melainkan strategi ekonomi masa depan. Dunia tengah bergerak menuju ekonomi hijau, dan produk perikanan yang berkelanjutan akan menjadi primadona ekspor baru.
Jika Indonesia mampu memadukan produktivitas tinggi dengan jejak karbon rendah, maka tambak-tambak di pesisir bukan lagi sumber emisi, melainkan penyerap karbon biru (blue carbon) yang berkontribusi langsung terhadap Net Zero Emission 2060.
Dengan kata lain, perjalanan menuju masa depan hijau bisa dimulai dari dasar kolam, tempat di mana ekonomi biru dan ekologi bertemu.