
Gelombang protes besar-besaran oleh pemuda Nepal yang melibatkan ribuan orang sejak awal September 2025 telah menambah bab baru dalam sejarah politik negara Himalaya kecil ini. Generasi Z turun ke jalan dari ibu kota Kathmandu hingga kota Pokhara, menuntut reformasi politik, transparansi pemerintah, dan keadilan sosial.
Namun, protes ini bukan hanya ungkapan kemarahan terhadap stagnasi ekonomi dan korupsi, tetapi juga tanda kesadaran politik baru pemuda di era pasca-monarki. Generasi Z Nepal tumbuh di era republik demokratis yang didirikan pada 2008, setelah gerakan panjang untuk menghapuskan monarki. Mereka tidak merindukan rezim otoriter, melainkan mempertanyakan sejauh mana demokrasi dapat mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial yang dijanjikan.
Demokrasi yang Kehilangan Maknanya
Lebih dari satu dekade setelah transformasi politik besar-besaran itu, Nepal dihadapkan pada krisis kepercayaan yang parah. Tingkat pengangguran pemuda mencapai hampir 18 persen, sementara korupsi dan birokrasi tetap menjadi penyakit yang menggerogoti legitimasi negara. Kepercayaan publik terhadap institusi negara — termasuk parlemen dan partai politik — terus menurun dalam survei demi survei.
Bagi Generasi Z, demokrasi tidak hanya diukur dari penyelenggaraan pemilu atau kebebasan berekspresi, tetapi juga dari kemampuan negara untuk menyediakan ruang hidup yang layak dan sistem yang adil. Sementara elit politik sibuk mempertahankan kekuasaan, pemuda Nepal merasa sistem politik menjauh dari makna inti demokrasi.
Tidak mengherankan, protes 2025 merupakan ledakan frustrasi yang terpendam. Gerakan ini menandakan bahwa demokrasi yang kehilangan substansi isinya akan dipertanyakan oleh warganya pada akhirnya.
Gerakan Digital dan Politik Baru
Perbedaan paling mencolok antara protes 2025 dan protes sebelumnya terletak pada peran media digital yang kuat. Generasi Z mengorganisir diri melalui platform seperti TikTok, X (Twitter), dan Telegram. #EnoughIsEnough kembali menjadi tren, baik sebagai simbol perlawanan maupun pengingat protes 2020 yang menuntut pertanggungjawaban pemerintah.
Media sosial telah menjadi ruang demokratis baru — tempat di mana mobilisasi massal terjadi tanpa hierarki, partai, atau pemimpin tunggal. Di ruang virtual, pemuda Nepal tidak hanya meluapkan kemarahan, tetapi juga membentuk nilai-nilai baru: keterbukaan, solidaritas, dan keadilan sosial.
Gerakan ini mencerminkan tren politik global yang lebih luas. Dalam ekosistem komunikasi global, media sosial tidak lagi sekadar platform untuk menyebarkan informasi, tetapi entitas politik yang membentuk narasi dan tekanan publik terhadap negara. Sama seperti dalam ‘Arab Spring’ di Timur Tengah atau ‘Milk Tea Alliance’ di Asia Tenggara, protes Gen-Z Nepal menunjukkan bahwa politik kini bergerak secepat algoritma media sosial.
Krisis Representasi di Asia Selatan
Pengalaman Nepal juga mengungkap masalah mendasar: krisis representasi politik di demokrasi baru Asia Selatan. Institusi politik memang ada, namun tidak selalu mencerminkan suara rakyat. Ketika sistem politik tidak mampu menyerap suara rakyat, media digital muncul sebagai ruang alternatif untuk ekspresi politik yang lebih egaliter.
Gerakan ini menarik dari sudut pandang hubungan internasional karena muncul pada saat persaingan antara dua kekuatan besar — China dan India — untuk pengaruh di negara Himalaya. Namun di tengah tarik-menarik geopolitik ini, pemuda Nepal memiliki pesan: kedaulatan rakyat sama pentingnya dengan kedaulatan negara.
Kebangkitan politik pemuda adalah tanda bahwa masa depan demokrasi bukanlah domain eksklusif elit dan institusi, tetapi juga kehidupan publik yang dibangun dari bawah ke atas.
Tantangan dan Harapan
Meskipun penuh energi, gerakan ini memiliki risiko. Sulit untuk mengarahkan energi besar di dunia maya dan mengubahnya menjadi strategi politik jangka panjang. Tanpa kepemimpinan dan agenda kebijakan, gerakan dapat dengan mudah terpecah atau bahkan diambil alih oleh kepentingan elit.
Namun di balik semua keterbatasan ini, terdapat harapan yang besar. Gerakan Gen-Z Nepal membuktikan bahwa demokrasi tidak mundur — ia terus berkembang. Ketika tatanan politik yang ada tidak lagi mampu mengakomodasi aspirasi, generasi muda menempuh jalannya sendiri untuk didengar.
Dari jalan-jalan Kathmandu, dunia kembali mendengar gema universal yang kini bergema di banyak tempat di seluruh dunia: bahwa generasi muda bukan hanya pewaris masa depan, tetapi juga pencipta sejarah hari ini.
Mereka tidak akan dibungkam. Mereka tidak akan menjadi penonton pasif dalam drama politik yang membosankan. Mereka mengingatkan kita semua bahwa demokrasi bukanlah hak lahir, tetapi perjuangan yang harus terus dilahirkan kembali — bahkan di tengah kelelahan global dalam politik.
Penutup
Apa yang terjadi di Nepal membuktikan bahwa demokrasi hanya akan bertahan jika relevan dengan kepentingan generasi mendatang. Gerakan Gen-Z bukan hanya fenomena lokal, tetapi bagian dari gelombang global yang menuntut demokrasi yang lebih terbuka, inklusif, dan partisipatif.
Lonceng demokrasi baru ini berbunyi hari ini di pegunungan Himalaya — dan mungkin gema suaranya akan sampai ke telinga generasi muda di seluruh dunia, termasuk kita.