
Bank Dunia dalam laporan terbarunya menyampaikan peringatan yang penting: jumlah pekerja informal di Indonesia terus melonjak, dan sektor ini telah menjadi tulang punggung pasar kerja nasional. Pekerja informal — termasuk pekerja gig — kini menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan sektor formal. Situasi ini bukan sekadar fenomena ekonomi, melainkan tanda pergeseran struktur tenaga kerja Indonesia menuju bentuk yang lebih fleksibel dan digital.
Berdasarkan data BPS per Februari 2025, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 153,05 juta orang. Dari jumlah itu, 95,24 persen telah terserap dalam pasar kerja, 4,76 persen masih berstatus sebagai pengangguran.
Dari total penduduk yang bekerja, 59,40 persen berada di sektor informal, sedangkan 40,60 persen bekerja di sektor formal. Data ini menunjukkan satu hal penting: sektor formal bukan penyerap utama tenaga kerja nasional. Pekerjaan informal termasuk pekerja gig—telah menjadi katup pengaman sosial ekonomi yang semakin dominan.Data ini menunjukkan satu hal penting: sektor formal bukan penyerap utama tenaga kerja nasional. Pekerjaan informal termasuk pekerja gig—telah menjadi katup pengaman sosial ekonomi yang semakin dominan.
Selama puluhan tahun, pembangunan ekonomi di Indonesia sangat bertumpu pada penciptaan lapangan kerja formal. Pabrik, kantor pemerintahan, perusahaan swasta besar, dan industri manufaktur menjadi simbol utama “pekerjaan ideal”. Namun, dalam dekade terakhir, narasi ini mulai kehilangan konteksnya.
Pertumbuhan sektor formal tidak secepat laju pertumbuhan angkatan kerja baru. Setiap tahun, jutaan anak muda memasuki pasar kerja, namun daya serap sektor formal terbatas. Kekosongan ini secara alami diisi oleh sektor informal konvensional dan gig economy.
Ledakan platform digital, urbanisasi, serta meningkatnya akses internet dan smartphone mempercepat proses ini. Orang tak lagi harus “melamar kerja” untuk dapat penghasilan. Cukup mendaftar ke platform, menyambungkan akun, lalu mulai bekerja — baik sebagai pengemudi, kurir, desainer, penulis lepas, penerjemah, maupun tenaga jasa mandiri lainnya.
Kondisi ini tentu memberikan fleksibilitas yang besar bagi pekerja, namun sekaligus menghadirkan dilema. Banyak pekerja gig tidak memiliki kontrak kerja jelas, tidak memiliki jaminan sosial dan tidak terlindungi oleh hukum ketenagakerjaan konvensional. Penghasilan mereka pun sangat fluktuatif tergantung permintaan pasar dan algoritma platform.
AI: Pengubah Struktur Kerja Global
Di saat yang sama, dunia sedang memasuki fase baru: era kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini tidak hanya menciptakan inovasi, tetapi juga mengubah cara orang bekerja. Banyak pekerjaan kantoran tradisional mulai tergantikan atau terdisrupsi oleh AI. Namun, menurut Jensen Huang — CEO Nvidia — masa depan kerja bukanlah tentang “kehilangan pekerjaan”, melainkan tentang pergeseran ke bentuk kerja yang lebih fleksibel, adaptif dan kreatif.
Dalam wawancaranya baru-baru ini, Huang menyatakan bahwa profesi yang paling dibutuhkan di era AI bukan lagi pekerja kantoran konvensional melainkan mereka yang mampu berkolaborasi dengan AI, memanfaatkan teknologi dan menciptakan nilai tambah baru. Artinya, dunia kerja ke depan akan lebih terbuka untuk pekerja independen, pekerja lepas dan pekerja gig — yang bisa bergerak cepat, belajar cepat dan bekerja lintas sektor.
Tren global ini juga terjadi di Indonesia. Gig economy tidak hanya tumbuh di sektor transportasi dan logistik, tetapi mulai merambah sektor digital: desain, penulisan konten, data labeling, pembuatan konten media sosial, editing video, dan bahkan AI training. Banyak perusahaan global menggunakan tenaga kerja lepas dari negara berkembang termasuk Indonesia, karena efisiensi biaya dan fleksibilitas tenaga kerja.
Tantangan Besar: Fleksibilitas vs Perlindungan
Fenomena ini membawa dua sisi mata uang: Di satu sisi, gig economy dan AI membuka peluang besar. Pekerja tidak harus terikat pada satu perusahaan. Mereka dapat bekerja lintas proyek, lintas negara dan lintas sektor. Ini sangat relevan dengan karakter angkatan kerja muda Indonesia yang melek digital, adaptif, dan cenderung tidak menyukai struktur kerja kaku.
Namun di sisi lain, pekerja gig menghadapi berbagai kerentanan struktural yang membuat posisi mereka rentan secara ekonomi maupun sosial. Mereka umumnya tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial sehingga risiko hidup sepenuhnya ditanggung sendiri. Selain itu, tidak adanya standar upah minimum membuat pendapatan mereka sangat fluktuatif dan sering kali tidak mencukupi kebutuhan dasar.
Posisi mereka dalam hubungan kerja pun tidak jelas: bukan karyawan tetap yang dilindungi regulasi ketenagakerjaan namun juga bukan pelaku usaha penuh yang memiliki kendali atas proses kerja. Situasi ini diperparah oleh ketergantungan pada algoritma platform yang menentukan akses terhadap order dan pendapatan tanpa transparansi dan tanpa bisa mereka kendalikan. Jika situasi ini tidak dikelola dengan baik, ledakan pekerja gig bisa menjadi bom waktu sosial yang berpotensi mengalami ketimpangan struktural dalam jangka panjang.
Kunci menghadapi perubahan lanskap ketenagakerjaan ini bukanlah dengan menolaknya, melainkan dengan mengelolanya agar menjadi peluang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Negara perlu merancang jaminan sosial yang lebih fleksibel, dengan skema iuran harian atau mingguan yang mudah diakses secara digital dan mencakup perlindungan dasar seperti kesehatan, kecelakaan kerja, dan hari tua.
Di sisi lain, regulasi hubungan kerja harus diperjelas agar hak, kewajiban, dan perlindungan minimal pekerja gig terjamin dan tidak terjadi eksploitasi. Pemerintah juga perlu membuka akses ke sistem perpajakan yang ringan dan sederhana, sehingga pekerja gig terlindungi sekaligus berkontribusi pada penerimaan negara.
Selain itu, peningkatan kapasitas digital menjadi penting agar pekerja tidak hanya menjadi tenaga kasar digital, tetapi mampu menciptakan nilai tambah dalam ekosistem ekonomi baru. Terakhir, kemitraan antara negara dan platform digital harus diperkuat untuk memastikan penerapan standar perlindungan minimum secara menyeluruh.
Paradigma Baru Ketenagakerjaan
Kebijakan ketenagakerjaan Indonesia harus bertransformasi dari paradigma lama — yang hanya fokus pada lapangan kerja formal — menuju paradigma baru yang mengakui, melindungi dan memperkuat pekerja gig sebagai bagian sah dari struktur ekonomi nasional.
Dengan jumlah pekerja gig yang terus meningkat, mengabaikan sektor ini bukan pilihan. Sebaliknya, gig economy bisa menjadi mesin pertumbuhan baru, penyerap tenaga kerja, penggerak UMKM digital dan sumber penerimaan negara.
Tantangan ini bisa menjadi peluang emas jika negara berani mengubah cara pandangnya terhadap tenaga kerja. Dengan kebijakan yang adaptif, perlindungan sosial yang inklusif dan penguatan kapasitas digital, pekerja gig Indonesia bukan hanya akan bertahan, tapi juga memimpin transformasi ekonomi nasional di era AI.
“Masa depan kerja bukan tentang kembali ke kantor, tetapi tentang bagaimana kita bekerja cerdas, fleksibel, dan terlindungi di dunia yang makin terdigitalisasi.”