
Ketika rasa terima kasih menjadi kekuatan tak terlihat dibalik badai industri udang
Langit siang itu tampak pucat. Di tepi tambak, deru aerator berputar monoton, seolah mencoba menenangkan kegelisahan yang tak terlihat. Para pekerja berdiri memandangi air yang tampak tenang, namun di balik permukaannya tersimpan keresahan yang lebih dalam dari sekadar fluktuasi kadar oksigen. Bukan karena udang mati mendadak, bukan pula karena mesin rusak, melainkan kabar yang datang dari luar negeri: produk udang Indonesia tengah diterpa isu radioaktif.
Sejak laporan Reuters dan pengumuman resmi Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada Oktober 2025 mengungkap adanya temuan Cesium-137 (Cs-137) pada salah satu sampel udang Indonesia, industri ini terguncang. Ekspor tertahan, harga jual terpuruk, dan kepercayaan pasar menurun drastis.
Namun yang paling berat sebenarnya bukan angka di pasar ekspor, melainkan dampak di hati para pekerja tambak, mereka yang setiap hari menaruh harapan pada air yang kini terasa begitu berat untuk disentuh.
Dalam situasi seperti ini, karyawan tambak adalah barisan paling depan yang menanggung beban mental. Mereka tetap bekerja di bawah terik dan tekanan, menjaga kualitas air, memberi pakan, dan memastikan sistem tetap berjalan meski laba menurun drastis. Tidak sedikit yang kehilangan semangat. Namun, sebagian lainnya justru menemukan kekuatan di tempat tak terduga: energi syukur dan rasa makna kerja.
Dari Krisis Ekonomi ke Krisis Mental
Krisis bukan hal baru bagi sektor perikanan. Fluktuasi harga, serangan penyakit, dan perubahan iklim sudah menjadi bagian dari kehidupan tambak. Namun, isu Cs-137 berbeda, ia memukul kepercayaan publik dan investor, memunculkan stigma bahwa produk laut Indonesia ‘tidak aman’. Akibatnya, permintaan ekspor menurun tajam dan harga jual di pasar lokal ikut tertekan.
Bagi para pekerja, tekanan itu berlipat. Pendapatan yang biasanya bergantung pada hasil panen menjadi tidak pasti. Ketakutan akan pemutusan kontrak dan rasa malu karena produk mereka dianggap ‘tercemar’ menambah beban psikis. Dalam kondisi ini, banyak karyawan menghadapi gejala stres, kecemasan, bahkan demotivasi.
Menurut data WHO (2023), sektor pertanian dan perikanan termasuk yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan mental akibat tekanan ekonomi dan lingkungan kerja yang tidak stabil. Stres kronis terbukti menurunkan konsentrasi, meningkatkan risiko kecelakaan kerja, dan memperburuk performa.
Namun menariknya, berbagai studi menunjukkan bahwa rasa syukur (gratitude) memiliki efek protektif yang nyata terhadap stres. Penelitian Emmons & McCullough (2021) menunjukkan bahwa individu yang secara rutin mengekspresikan rasa terima kasih mengalami penurunan tingkat depresi dan peningkatan daya tahan psikologis hingga 25%.
Syukur dan Makna Kerja: Dua Pilar Ketahanan Mental
Syukur bukan sekadar sikap pasrah, melainkan cara melihat ulang realitas. Ia mengubah fokus dari kehilangan ke apa yang masih tersisa. Di tambak, misalnya, karyawan yang bersyukur tidak menutup mata terhadap kerugian, tetapi mampu menilai bahwa pekerjaan mereka tetap bermakna, menjaga rantai pangan, mendukung keluarga, dan mempertahankan mata pencaharian masyarakat pesisir.
Konsep ini sejalan dengan penelitian Arslan & Wong (2023) dalam Frontiers in Psychology, yang menemukan bahwa rasa syukur meningkatkan meaning in life (makna hidup) dan berperan sebagai ‘penyangga psikologis’ saat menghadapi tekanan berat. Ketika seseorang merasa hidupnya bermakna, ia cenderung lebih stabil emosional dan lebih tangguh menghadapi kegagalan atau ketidakpastian.
Dalam konteks kerja, makna ini dikenal sebagai meaning of work, keyakinan bahwa pekerjaan yang dilakukan memiliki nilai dan kontribusi lebih besar daripada sekadar gaji. Karyawan yang memiliki makna kerja tinggi terbukti memiliki tingkat keterlibatan (employee engagement) dan loyalitas lebih kuat. Mereka lebih siap menghadapi situasi sulit, termasuk saat produksi anjlok.
Pelajaran dari Tambak: Syukur yang Bekerja Nyata
Hal sederhana: setiap pagi, sebelum briefing teknis, semua karyawan diminta menyebutkan satu hal yang mereka syukuri. Tak sampai dua menit, tapi efeknya terasa.
“Saya bersyukur karena hari ini air kolam masih stabil,” kata seorang teknisi.
“Saya bersyukur teman-teman tetap semangat walau harga turun,” ujar yang lain.
Ritual kecil itu menumbuhkan rasa kebersamaan dan fokus positif di tengah tekanan. Dalam dua minggu, absensi membaik, dan komunikasi antardivisi menjadi lebih terbuka. ‘Bukan karena masalahnya hilang, tapi karena mereka punya alasan untuk tetap bergerak.’
Fenomena seperti ini bukan sekadar ‘motivasi pagi’, tapi sejalan dengan hasil riset. Gratitude micro-practices-seperti menulis jurnal syukur atau ucapan apresiasi singkat-telah terbukti menurunkan stres kerja dan meningkatkan empati antarpegawai (Emmons & Mishra, 2022). Dalam ekosistem padat tekanan seperti tambak udang, energi syukur bisa menjadi pelumas sosial yang menjaga harmoni tim dan menurunkan friksi emosional.
Langkah Kecil, Dampak Besar
Menumbuhkan budaya syukur di tempat kerja tidak membutuhkan anggaran besar. Beberapa langkah sederhana dapat dilakukan oleh pengelola tambak atau perusahaan perikanan:
1. Briefing apresiatif – Awali rapat pagi dengan mengucapkan terima kasih kepada tim atas upaya mereka, sekecil apa pun.
2. Jurnal syukur mingguan-Dorong setiap karyawan menulis tiga hal yang mereka syukuri di tempat kerja.
3. Program ‘Meaning of Work’ – Komunikasikan visi besar perusahaan, bahwa pekerjaan mereka berkontribusi pada ketahanan pangan dan kesejahteraan pesisir.
4. Dukungan sosial tim kecil-Ciptakan ruang aman untuk berbagi keluh kesah tanpa stigma, agar energi negatif tidak menumpuk.
Selain memperkuat moral, pendekatan ini juga berdampak ekonomi. Studi Harvard Business Review (2024) mencatat bahwa perusahaan yang menanamkan budaya apresiatif mengalami penurunan turnover hingga 31% dan peningkatan produktivitas 21%. Dalam konteks tambak, ini berarti efisiensi kerja, stabilitas produksi, dan penghematan biaya pelatihan ulang.
Rezeki yang Tak Selalu Berwujud Rupiah
Di tengah ketidakpastian pasar dan tekanan isu Cs-137, mudah bagi siapa pun untuk merasa gagal. Namun, bila dilihat dari sudut pandang energi syukur, rezeki tak selalu datang dalam bentuk uang. Terkadang, ia hadir dalam bentuk ketenangan hati, solidaritas tim, atau kemampuan bertahan di tengah badai.
Karyawan yang mampu menjaga rasa syukur cenderung melihat krisis sebagai fase, bukan akhir. Mereka tetap menjalankan tanggung jawab dengan integritas dan menemukan makna bahwa kerja mereka-meski sedang terpuruk-tetap bernilai.
Dan tentunya, ‘Rezeki itu bukan cuma apa yang kita dapat, tapi juga kekuatan untuk tetap berbuat baik saat kehilangan.’
Syukur sebagai Energi Ketahanan Industri
Krisis radioaktif mungkin akan berlalu, harga udang perlahan pulih, dan pasar kembali percaya. Tapi pelajaran yang lebih berharga justru datang dari sisi manusia: bahwa dibalik teknologi dan strategi pemasaran, ada kekuatan psikis yang lebih menentukan-energi syukur.
Ketika karyawan tambak belajar berterima kasih atas apa yang tersisa, bukan hanya meratap atas yang hilang, mereka sesungguhnya sedang menyalakan sumber energi tak terlihat yang memperkuat ketahanan industri dari dalam.
Karena dalam dunia yang serba fluktuatif, rasa syukur bukan sekadar sikap spiritual, ia adalah strategi bertahan hidup.