
Tidak banyak orang yang menduga bahwa minyak jelantah, sisa gorengan dari dapur rumah tangga yang selama ini dianggap limbah, suatu hari bisa mengangkat pesawat komersial melintas langit Nusantara.
Pada 20 Agustus 2025, penerbangan rute Jakarta–Bali mencatat sejarah untuk pertama kalinya di Asia Tenggara, pesawat komersial mengudara menggunakan campuran bahan bakar avtur terbarukan berbasis minyak jelantah, atau Sustainable Aviation Fuel (SAF), yang diproduksi di kilang Pertamina Cilacap.
Pencapaian ini tentu patut diapresiasi karena menunjukkan bahwa inovasi teknologi energi terbarukan telah sampai pada tahap nyata, bukan sekadar wacana di atas kertas atau slogan kampanye hijau.
Namun, di balik euforia keberhasilan itu, ada pertanyaan yang jauh lebih besar dan mendesak untuk dijawab bersama: apakah minyak jelantah benar-benar akan menjadi energi rakyat yang inklusif, atau justru berubah menjadi bisnis eksklusif yang hanya menguntungkan segelintir elite migas?
Salah satu daya tarik utama dari kisah penerbangan perdana dengan SAF berbasis minyak jelantah adalah kesederhanaan simbol yang terkandung di dalamnya.
Minyak jelantah, yang sehari-hari hanya kita kenal sebagai sisa penggorengan yang berbau tengik kerap dibuang begitu saja ke selokan atau dijual murah ke pengepul ternyata dapat menjelma menjadi energi bersih yang mendorong mesin jet melintasi udara.
Simbol ini penting karena menunjukkan bahwa transisi energi bukan hanya soal teknologi canggih yang jauh dari keseharian, melainkan dapat berangkat dari ruang-ruang sederhana yang akrab dengan masyarakat kecil yang ada di dapur rumah tangga dan usaha mikro.
Dengan demikian, keberhasilan penerbangan ini sebenarnya lebih dari sekadar tonggak teknologi, ia juga sebuah ajakan untuk melihat kembali nilai strategis dari limbah yang selama ini terabaikan.
Secara teknis, keunggulan SAF berbasis minyak jelantah memang sulit dibantah. Berbagai penelitian internasional membuktikan bahwa bahan bakar ini mampu menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 60–80 persen dibandingkan avtur fosil, dan yang lebih penting, ia dapat digunakan langsung tanpa perlu memodifikasi mesin pesawat atau infrastruktur penerbangan yang sudah ada.
Artinya, teknologi sudah siap untuk dipakai, tidak perlu menunggu terobosan baru yang mahal dan memakan waktu lama. Namun, dibalik kesiapan teknologi, pertanyaan fundamental tetap mengemuka di benak penulis siapa yang benar-benar akan menikmati manfaat dari energi baru ini? Apakah rakyat yang dapurnya menyumbangkan jelantah atau justru korporasi besar yang menguasai rantai pasok, kilang, dan pasar penerbangan?
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023 menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan lebih dari 3 juta kiloliter minyak jelantah per tahun. Angka ini menunjukkan potensi luar biasa untuk dijadikan bahan baku energi terbarukan. Tetapi kenyataannya, mayoritas minyak jelantah itu tidak masuk dalam rantai pasok resmi, melainkan bocor ke pasar gelap atau bahkan diekspor secara ilegal.
Di sinilah persoalan mendasar dapat dilihat bersama, tanpa tata kelola yang transparan dan insentif yang adil, minyak jelantah berisiko besar hanya menjadi komoditas baru yang diperebutkan kelompok-kelompok pebisnis rente, sementara rakyat sebagai penghasil limbah tetap berada di pinggir cerita. Padahal, jika dikelola dengan baik, potensi ini bisa menjadi fondasi energi rakyat yang menghubungkan transisi energi dengan keadilan sosial.
Bayangkan dengan menggunakan sebuah skema sederhana, apabila setiap tetes minyak jelantah yang disetor oleh ibu rumah tangga atau pedagang gorengan ke rantai pasok resmi akan mendapatkan poin digital atau kupon yang bisa ditukar dengan akses makanan bergizi di dapur komunitas.
Dengan demikian, pengumpulan jelantah tidak hanya menghasilkan energi bersih yang mengangkat pesawat, tetapi juga memperkuat hak atas pangan rakyat kecil. Transisi energi pun tidak lagi menjadi isu teknokratis, melainkan hadir sebagai praktik keadilan sosial yang nyata di tingkat akar rumput.
Dari Pasar Gelap hingga Risiko Greenwashing
Walaupun terlihat sederhana, perjalanan mewujudkan rantai pasok minyak jelantah yang sehat penuh tantangan. Di atas kertas, jumlah jelantah memang melimpah. Namun dalam praktik, rantai pasoknya bisa dikatakan sangat berantakan.
Minyak bekas dapur rumah tangga tersebar dalam volume kecil, cenderung sulit dikumpulkan dan lebih mudah dijual murah kepada pengepul ilegal yang kemudian mengalirkannya ke pasar gelap atau mengekspornya keluar negeri.
Pemerintah memang sudah melarang ekspor minyak jelantah sejak awal 2025, tetapi larangan semata tanpa skema insentif bagi rakyat hanya akan menciptakan pasar gelap baru yang lebih berisiko. Dengan kata lain, kebijakan yang hanya bersifat membatasi tanpa memberikan keuntungan nyata bagi masyarakat berpotensi gagal sejak awal.
Di sinilah pentingnya menetapkan harga acuan nasional serta menciptakan insentif langsung bagi rumah tangga dan UMKM. Rakyat harus mendapatkan manfaat ekonomi yang jelas dari menyerahkan minyak jelantah ke rantai pasok resmi. Jika tidak, maka tidak ada alasan rasional bagi masyarakat kecil untuk berpartisipasi, dan rantai pasok SAF akan selalu kalah dari mekanisme pasar gelap.
Kunci keberhasilan bukan sekadar melarang ekspor, tetapi menciptakan sistem yang membuat rakyat merasa lebih untung jika menjual jelantahnya ke jalur resmi dibandingkan ke pengepul ilegal.
Selain persoalan bahan baku, ada pula tantangan biaya produksi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa harga SAF saat ini masih dua hingga tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan avtur fosil. Tanpa dukungan fiskal berupa pembebasan pajak, subsidi silang hingga integrasi dengan pasar karbon, maskapai penerbangan tentu tidak akan sanggup menanggung beban biaya tersebut.
Pertanyaannya kemudian kepada siapa yang akan diuntungkan dari mekanisme insentif ini? Apakah masyarakat kecil sebagai penyetor jelantah akan ikut merasakan manfaat atau insentif hanya akan berputar di lingkaran bisnis besar migas dan maskapai? Pengalaman program biodiesel B30 memberi pelajaran penting bahwa tanpa tata kelola yang ketat, program energi terbarukan bisa dengan mudah tersandera oleh kepentingan korporasi.
Sementara rakyat hanya menjadi penonton yang namanya disebut dalam retorika kebijakan, tetapi tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam pembagian manfaat.
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah risiko greenwashing. Transisi energi tidak boleh berhenti pada label “hijau” semata. Ada risiko serius jika bahan baku SAF bergeser dari limbah menuju minyak primer misalnya crude palm oil yang dalam praktiknya bisa memicu deforestasi dan konflik lahan.
Jika itu terjadi, maka SAF hanya akan menjadi kosmetik transisi energi yang membungkus praktik lama dalam wajah baru. Karena itu, pemerintah harus berani menetapkan hierarki bahan baku yang jelas, dengan prioritas utama pada limbah dan residu seperti minyak jelantah, tandan kosong sawit, sekam padi, atau jerami.
Lebih jauh lagi, sistem pelacakan digital yang transparan harus dibangun agar setiap tetes jelantah bisa ditelusuri asal-usulnya. Tanpa mekanisme itu, SAF akan rentan disalahgunakan sebagai alat legitimasi hijau yang sesungguhnya abu-abu.
Regulasi, Partisipasi, dan Keberanian Politik
Jika melihat praktik terbaik negara lain, kita bisa menemukan pelajaran berharga. Belanda, misalnya, melalui Bandara Schiphol, mewajibkan pencampuran SAF pada penerbangan internasional sambil memberi insentif pajak untuk produsen.
Amerika Serikat bahkan lebih jauh, meluncurkan program Sustainable Aviation Fuel Grand Challenge dengan target 11 miliar liter SAF pada 2030 lengkap dengan kredit pajak per galon.
Kedua contoh ini menunjukkan hal yang sama yakni keberhasilan tidak hanya bergantung pada kesiapan teknologi, tetapi juga pada konsistensi regulasi, mandat pasar yang jelas dan insentif yang tepat sasaran.
Indonesia bisa mengambil inspirasi dari sana, tetapi yang lebih penting adalah menyesuaikannya dengan konteks kearifan lokal memastikan bahwa manfaat minyak jelantah benar-benar kembali kepada rakyat, bukan hanya ke perusahaan besar yang sudah mapan.
Jika dikelola dengan berani, SAF berbasis minyak jelantah bisa menjadi lebih dari sekadar bahan bakar pesawat. Proses pengolahannya juga menghasilkan diesel terbarukan yang dapat digunakan untuk bus kota, kapal penyeberangan, dan truk logistik.
Dengan demikian, minyak jelantah sebenarnya punya potensi untuk menggerakkan seluruh moda transportasi darat, laut, dan udara sekaligus membangun ekonomi sirkular yang sehat. Namun semua itu hanya mungkin jika ada partisipasi kolektif.
Tanpa rakyat sebagai aktor utama, SAF hanya akan berhenti sebagai seremoni elite: sekali terbang untuk kepentingan liputan, lalu menguap tanpa jejak dalam kehidupan sehari-hari.
Penerbangan perdana SAF dari minyak jelantah seharusnya dipahami bukan sekadar sebagai demonstrasi teknologi, melainkan sebagai ujian serius bagi tata kelola energi Indonesia.
Pertanyaannya apakah minyak jelantah akan benar-benar menjadi energi rakyat yang menyehatkan dapur dan menggerakkan transportasi rendah karbon atau ia hanya akan berubah menjadi bisnis elite yang dibungkus jargon hijau? Jawaban dari pertanyaan itu sangat bergantung pada keberanian politik kita.
Apakah kita berani menata regulasi secara tegas, memberi insentif langsung kepada rakyat dan memastikan setiap tetes jelantah yang dihasilkan dapur rumah tangga kembali sebagai energi berkeadilan?
Pada akhirnya, transisi energi bukanlah soal teknologi tinggi semata, melainkan soal keberanian untuk menempatkan rakyat sebagai pemilik utama masa depan energi.
Jika minyak jelantah bisa menggerakkan pesawat, mengapa tidak bisa sekaligus menggerakkan politik energi yang lebih adil? Pertanyaan inilah yang seharusnya menjadi refleksi kita bersama, agar inovasi ini tidak berhenti pada seremoni satu kali terbang, tetapi berkembang menjadi arus utama yang menyatukan dapur rakyat dengan langit Nusantara dalam visi besar transisi energi yang berdaulat, inklusif, dan adil.