
Hakim nonaktif, Djuyamto, mengungkap banyak hakim senior yang menginginkan untuk menangani kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
Hal tersebut diungkap Djuyamto saat bersaksi dalam persidangan kasus suap vonis lepas korupsi CPO di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (15/10).
Mulanya, jaksa penuntut umum (JPU) mengkonfirmasi kepada Djuyamto soal adanya pernyataan dari eks Wakil Ketua PN Jakpus, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), terkait banyaknya hakim senior yang ingin menangani kasus CPO tersebut.
“Pada saat pertemuan itu, apakah pernah ada penyampaian dari Pak MAN terkait dengan perkara ini sebetulnya banyak diminta oleh hakim senior?” tanya jaksa.
“Betul,” timpal Djuyamto.
Meski banyaknya hakim senior yang meminta, Arif Nuryanta tetap memilih Djuyamto menjadi pengadil kasus CPO itu. Menurut dia, pemilihannya dilakukan semata atas penilaian subjektif.
“Kalau soal alasan penunjukan saya tentu subjektifnya beliau selaku pimpinan saya, tapi tadi ada dua alasan yang sudah saya sebutkan. Pertama, beliau menanya kepada saya apakah pernah pegang perkara korporasi. Yang kedua, apakah beban perkara saya. Itu kan kembali ke beliau alasan kenapa akhirnya saya yang ditunjuk,” jelas Djuyamto.
Jaksa lalu menggali soal alasan banyaknya hakim senior meminta untuk menangani perkara tersebut. Namun, Djuyamto mengaku tak mengetahuinya, dia juga tak berani untuk mendalami soal tersebut.
Djuyamto hanya mengaku bertanya seputar asal usul perkara tersebut yang ternyata juga menjadi atensi ‘pimpinan’.
“Ketika beliau menyampaikan perkara ini banyak diminta oleh hakim senior, saya spontan bertanya, ‘perkara ini memang dari siapa Pak Ketua?’ Dijawab oleh beliau, ‘dari atas, pimpinan’, pokoknya gitu,” ujar Djuyamto.
Kasus Suap Vonis Lepas CPO
Dalam kasus itu, tiga orang hakim yang menjatuhkan vonis lepas dalam perkara persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) didakwa menerima suap dan gratifikasi.
Ketiga hakim tersebut yakni Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom. Mereka didakwa menerima suap secara bersama-sama dengan eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, dan mantan Panitera Muda PN Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.
Kelimanya didakwa menerima total uang suap sebesar Rp 40 miliar dalam menjatuhkan vonis lepas perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut uang diduga suap tersebut diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe’i selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Uang suap senilai Rp 40 miliar itu kemudian dibagi-bagi oleh Arif, Wahyu, dan tiga orang hakim yang mengadili perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.
Rinciannya, yakni Arif didakwa menerima bagian suap sebesar Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima sekitar Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing mendapatkan bagian uang suap senilai Rp 6,2 miliar.
Untuk Arif, ia didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Wahyu didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian, Djuyamto, Agam, dan Ali didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.