
China kembali memanfaatkan kekuatan industrinya dalam perang dagang melawan Amerika Serikat (AS). Kali ini bukan melalui logam tanah jarang (rare earth) seperti sebelumnya, melainkan melalui baterai, komponen penting dalam transisi energi dan kebutuhan listrik pusat data di AS.
Para analis menilai pembatasan baru yang diumumkan China terhadap ekspor baterai dapat berdampak besar pada perusahaan-perusahaan AS. Dengan posisinya yang dominan di industri baterai, langkah ini merupakan strategi menekan perundingan dagang di tengah meningkatnya kebutuhan AS terhadap penyimpanan energi untuk mendukung pusat data dan menstabilkan jaringan listrik.
Dikutip dari Bloomberg, China akan melakukan pembatasan ekspor seluruh rantai pasokan baterai mulai 8 November mendatang. Pembatasan tersebut mencakup baterai litium-ion skala besar yang digunakan untuk penyimpanan energi, serta material katoda dan anoda dan mesin produksi baterai.
Kebijakan ini mewajibkan perusahaan baterai untuk mendapatkan lisensi dari Kementerian Perdagangan China sebelum mengekspor produk mereka. Sistem ini memungkinkan China untuk secara selektif menjadikan ekspor sebagai senjata.
“Meskipun dampaknya tidak seluas kontrol ekspor China lainnya terhadap berbagai industri, dominasi China dalam rantai pasokan baterai berarti mereka dapat menekan dengan keras dan dampaknya dapat dirasakan dengan cepat oleh perusahaan-perusahaan AS,” kata Matthew Hales, analis di Bloomberg NEF.

BNEF mencatat dalam tujuh bulan pertama tahun 2025, baterai litium-ion asal China menyumbang sekitar 65 persen dari impor AS. Lebih lanjut, para analis menyebut pembatasan baru ini diperkirakan akan langsung mempengaruhi pasokan tersebut.
Permintaan penyimpanan energi di AS terus melonjak, terutama karena ledakan kecerdasan buatan (AI) yang membuat konsumsi listrik pusat data meningkat tajam. Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley mencatat konsumsi listrik data center di AS lebih dari dua kali lipat sejak 2017 hingga 2023, dan bisa tiga kali lipat pada 2028.
Rantai Pasok Baterai Masih Dikuasai China
Direktur Program Energi, Ekonomi, dan Keamanan di Center for a New American Security, Emily Kilcrease menilai meskipun ledakan AI di China terhambat oleh akses ke chip canggih dari AS, permintaan energi juga menjadi kendala di AS untuk infrastruktur pusat data AI.
Baterai skala besar berperan menyimpan kelebihan energi terbarukan dan menyalurkannya saat dibutuhkan. Hal ini membantu mencegah pemadaman listrik dan memperkuat stabilitas jaringan listrik.
Kapasitas baterai skala utilitas di AS kini mencapai 26 gigawatt pada 2024, naik pesat dari hampir nol satu dekade lalu. BNEF menambahkan, di Texas, sekitar 4 gigawatt kapasitas baterai, cukup untuk memasok listrik bagi sekitar 3 juta rumah mulai beroperasi tahun lalu. Sebanyak 136 gigawatt kapasitas baru diperkirakan akan ditambahkan di seluruh negeri selama 10 tahun mendatang.

Hales menjelaskan sebagian besar pasokan tersebut perlu didatangkan dari China dan tidak dapat dengan mudah digantikan oleh negara lain.
Kapasitas produksi baterai AS telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, tetapi belum dapat memenuhi permintaan domestik untuk penyimpanan energi. Pabrik-pabrik tersebut juga akan terdampak oleh pembatasan baru China. Negara Asia ini mengendalikan sekitar 96 persen kapasitas produksi anoda dunia, menurut BNEF, dan 85 persen kapasitas produksi katodanya.
Kepala penelitian mineral penting dan rantai pasokan di konsultan Trivium China, Cory Combs kebijakan pembatasan ekspor merupakan sebuah eskalasi besar, karena perusahaan-perusahaan di luar China sangat bergantung pada komponen-komponen tersebut.
“Banyak pabrik baterai yang telah berdiri di wilayah Tenggara, semuanya akan terdampak oleh hal ini, ini adalah aliran bahan baku mereka,” kata eksekutif baterai yang mengawasi produksi baterai untuk Tesla Inc. dan pabrik raksasa Panasonic Corp. di Nevada, Celina Mikolajczak.
Dampak ke Industri AS
Kebijakan baru ini langsung memukul saham dua perusahaan AS yang sebagian bergantung pada komponen baterai China. Saham perusahaan baterai Fluence Energy Inc. anjlok lebih dari 12 persen pada hari Jumat (10/10), penurunan terbesar sejak 12 Agustus, sementara saham Tesla turun 5 persen.
“Kebijakan China menambah kompleksitas pada rantai pasokan global yang sudah ketat dan menggarisbawahi pentingnya mempercepat inovasi domestik,” ujar CEO Dragonfly Energy Corp, Denis Phares.
Menurutnya, perusahaan tersebut secara aktif berupaya mengurangi ketergantungan pada komponen bersumber dari China sebagai bagian dari rencana jangka panjang.
Di sisi lain, Peneliti kebijakan dan geopolitik di Benchmark Mineral Intelligence, Bryan Bille, menilai kontrol ekspor juga dapat menempatkan industri baterai China menghadapi kelebihan kapasitas di dalam negeri. Perusahaan-perusahaan China semakin bergantung pada pasar luar negeri.

Ada pula faktor rumit lainnya: Analis memandang tindakan China tidak hanya sebagai sumber pengaruh penting dalam negosiasi perdagangan, tetapi juga sebagai sarana untuk mempertahankan keunggulan kompetitifnya.
“Saya rasa mereka benar-benar berambisi untuk menjadi kekuatan terdepan dalam industri ini selama beberapa dekade mendatang,” kata laria Mazzocco, peneliti senior yang berfokus pada industri energi bersih.
Seberapa besar keputusan Tiongkok untuk memanfaatkan pengaruh baterainya kemungkinan besar akan bergantung sebagian pada hasil perundingan dagang. Tiongkok mengizinkan pemulihan pengiriman logam tanah jarang ke AS setelah mencapai kesepakatan dengan pemerintahan Trump pada bulan Juni.
Reporter: Nur Pangesti