
Kementerian Investasi dan Hilirisasi/ Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mewaspadai dampak perang dagang atau perang tarif Amerika Serikat (AS) dengan berbagai negara termasuk Indonesia.
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Nurul Ichwan, mengatakan perang tarif ini bisa berdampak pada investasi perusahaan-perusahaan AS di Indonesia, meski dampaknya tidak serta-merta membuat investasi mereka turun drastis.
Menurut dia, kebijakan tarif tinggi AS terhadap barang impor justru bertujuan untuk menarik kembali investasi ke dalam negeri Amerika. Misalnya dengan Indonesia, AS menerapkan tarif dasar impor sebesar 19 persen.
Nurul melihat dengan adanya tarif masuk yang tinggi, produk dari luar AS menjadi lebih mahal, sehingga industri dalam negeri AS mendapat keuntungan kompetitif. Dalam situasi seperti ini, perusahaan-perusahaan AS akan berpikir dua kali untuk memindahkan produksi ke luar negeri, termasuk ke Indonesia, karena produk yang diekspor kembali ke AS akan terkena tarif dan menjadi tidak kompetitif.
“Kalau misalnya kemudian diproduksi di Indonesia untuk barang-barang yang terkena tarif tadi, tentunya industri di Amerika juga berpikir, ngapain saya bikin di Indonesia?
Kalau di ekspor barangnya ke Amerika jadi lebih mahal, daripada investasi di luar kena bea masuk, yang penting investasi di dalam,” tutur Nurul Ikhwan dalam gelaran peluncuran laporan Bisnis AS untuk Indonesia (BISA) yang digelar US-ASEAN Business Council (USABC) di Jakarta, Selasa (14/10).

Berdasarkan data BKPM, AS merupakan investor terbesar ke-6 di Indonesia secara akumulatif. Total realisasi investasi AS pada periode 2020 hingga Semester I 2025 mencapai USD 14,85 Miliar atau setara dengan Rp 246,27 triliun (dengan kurs Rp 16.584 per dolar AS). Realisasi investasi AS ini sangat terkonsentrasi di sektor manufaktur, yang menyumbang 79 persen dari total investasi.
Meskipun berdampak pada realisasi investasi AS, namun Nurul melihat hal itu tidak serta-merta membuat investasi AS di Indonesia turun secara signifikan. Dia menyoroti ada dua alasan utama yang tetap membuat Indonesia menarik bagi investor Amerika.
Pertama, sumber daya alam (SDA) Indonesia yang tidak bisa ditemukan di banyak negara lain. Perusahaan-perusahaan AS di sektor tambang seperti Freeport tidak memiliki pilihan lain selain berinvestasi di Indonesia karena sumber dayanya memang hanya ada di sini.
“Sumber daya alam kita, yang dia nggak mungkin dapatkan dari tempat lain. Jadi they have no other choice. Jadi harus miliki Indonesia,” imbuhnya.
Kedua, pasar Indonesia yang besar dan belum jenuh, dengan ekonomi yang terus tumbuh serta daya beli masyarakat yang meningkat, menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial bagi produk-produk dan teknologi Amerika.
Nurul juga menegaskan selain tambang dan manufaktur investasi AS juga banyak mengalir ke industri berteknologi tinggi seperti Microsoft, Google, dan Apple, termasuk ekosistem bisnis yang mendukung mereka.
Dengan demikian, meskipun perang dagang bisa membuat sebagian industri AS lebih memilih berproduksi di dalam negeri, Indonesia tetap menjadi tujuan investasi penting bagi AS karena faktor sumber daya alam dan besarnya potensi pasar domestik.
“Jadi mereka masih melihat bahwa Indonesia, negara yang ekonominya terus berkembang, karena dia (Indonesia) kaya dengan sumber daya alamnya. Minimal dengan memanfaatkan sumber daya alam itu. Ditambah hilirisasi, ekonominya terus tubuh, kemampuan daya beli masyarakat yang tinggi, itulah market yang saya cari,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Strategic Communications Lead US-ASEAN Business Council Prelia Moenandar juga membeberkan data American Chamber of Commerce (AMCHAM) dalam laporan berjudul U.S. Indonesia Investment Report 2024 yang menunjukkan efek berganda dari investasi AS di Indonesia antara tahun 2014 dan tahun 2023.
“Investasi AS di Indonesia antara tahun 2014 dan tahun 2023 menciptakan multiplier effect sekitar USD 128 miliar USD (atau setara dengan Rp 2,12 kuadriliun),” tutur Prelia dalam kesempatan yang sama.