
Kuliah dulu dianggap gerbang menuju masa depan cerah. Tapi sekarang, banyak orang mulai bertanya-tanya: apakah gelar sarjana masih sepadan dengan biaya yang harus dibayar?
Uang pangkal puluhan juta, UKT yang naik tiap semester, ditambah biaya hidup di kota besar semua terasa makin berat. Ironisnya, setelah lulus, banyak sarjana justru berjuang mencari kerja dengan gaji yang bahkan belum cukup untuk menutup biaya kuliah mereka dulu.
Pertanyaannya, apakah perguruan tinggi masih layak disebut investasi masa depan, atau justru jadi beban baru bagi generasi muda?
Dulu, kuliah identik dengan cita-cita. Sekarang, kuliah makin terasa seperti barang mewah.
Banyak kampus negeri maupun swasta menaikkan biaya dengan alasan “penyesuaian kebutuhan operasional”. Tapi di sisi lain, transparansi soal ke mana uang mahasiswa mengalir seringkali tidak jelas.
Akibatnya, pendidikan tinggi perlahan menjauh dari prinsip awalnya bukan lagi sarana mencerdaskan bangsa, tapi jadi produk yang hanya bisa diakses mereka yang mampu. Sementara yang lain? Terpaksa berhenti di tengah jalan atau menanggung utang demi selembar ijazah.
Ijazah Tak Lagi Jadi Jaminan
Di masa lalu, punya gelar sarjana sudah cukup untuk membuka peluang kerja yang luas. Namun kini, ijazah tak lagi menjadi tiket emas.
Banyak perusahaan lebih menilai keterampilan dan pengalaman dibanding sekadar gelar.
Platform digital dan industri kreatif bahkan membuka peluang bagi mereka yang belajar secara otodidak.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: kalau keahlian bisa didapat lewat kursus daring, magang, atau pengalaman langsung, mengapa harus membayar mahal untuk kuliah empat tahun?
Ketimpangan antara Biaya dan Kualitas
Banyak mahasiswa merasa biaya kuliah tidak sebanding dengan kualitas pembelajaran.
Dosen yang jarang hadir, fasilitas yang kurang memadai, dan kurikulum yang belum relevan dengan dunia kerja menjadi masalah klasik. Di sisi lain, mahasiswa dituntut untuk “siap bersaing secara global”.
Padahal, bagaimana bisa bersaing jika sistem pendidikannya sendiri masih tertinggal?
Ketimpangan antara biaya dan kualitas inilah yang membuat banyak orang mulai kehilangan kepercayaan pada pendidikan tinggi.
Perguruan Tinggi Harus Berbenah
Meski begitu, bukan berarti kuliah sudah tak penting.
Perguruan tinggi tetap punya peran vital: membentuk cara berpikir kritis, melatih komunikasi, dan memperluas jaringan sosial.
Namun, sistemnya harus berubah dari sekadar tempat menuntut ilmu menjadi ruang kolaborasi yang relevan dengan realitas dunia kerja. Kampus perlu lebih transparan dalam pengelolaan dana, memperbarui kurikulum, dan memperkuat koneksi industri. Mahasiswa tidak hanya butuh gelar, tapi arah dan keterampilan.
Pendidikan Harus Kembali ke Akar Akses dan Keadilan
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi hak, bukan privilese. Ketika biaya kuliah menjadi penghalang bagi anak muda untuk berkembang, itu tanda ada yang salah dalam sistemnya.
Negara, universitas, dan masyarakat perlu memikirkan ulang bagaimana pendidikan bisa tetap berkualitas tanpa membuat generasi muda terbebani secara finansial. Karena sejatinya, pendidikan bukan soal siapa yang mampu membayar, tapi siapa yang mau belajar.
Kita tidak bisa menolak pentingnya pendidikan, tapi kita juga tidak boleh menutup mata terhadap realitas: biaya kuliah yang terus naik tidak selalu sebanding dengan hasil yang didapat.
Perguruan tinggi harus kembali menjadi tempat tumbuhnya pemikiran dan harapan, bukan hanya tempat yang menagih biaya mahal untuk selembar gelar.
Di masa depan, mungkin bukan kuliah yang harus ditinggalkan tapi cara kita memandang dan menyelenggarakannya yang perlu diubah.