
“Cring!” suara notifikasi m-banking di akhir bulan terdengar begitu merdu di telinga anak rantau. Benar saja, itu pertanda gaji bulanan yang ditunggu-tunggu telah masuk. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sekejap. Tak lama kemudian, “Cring!” notifikasi lain muncul di layar ponsel, kali ini sebuah pesan dari kampung halaman: “Nak, apa kabar? Di rumah ada kebutuhan mendadak…”
Bagi jutaan anak rantau di Indonesia, skenario ini adalah ritme bulanan yang familiar. Sebuah simfoni kompleks yang memadukan rasa bangga, cinta, dan tanggung jawab dengan kecemasan, beban kelelahan, dan rasa terjerat yang tak terucapkan.
Skenario ini bukan sekadar drama keluarga semata, atau persoalan personal, melainkan sebuah fenomena nyata yang menjerat banyak anak rantau. Ia adalah cerminan realitas sosio-ekonomi yang mendalam, sebuah manifestasi dari apa yang dalam sosiologi disebut sebagai embeddedness atau keterlekatan. Konsep yang dipelopori oleh Karl Polanyi ini menyatakan bahwa tindakan ekonomi tidak pernah terjadi dalam ruang hampa, tetapi selalu terlekat dan tak terpisahkan dari hubungan sosial.
Kesuksesan finansial seorang perantau tidak terlepas dari dukungan kerabat maupun keluarga di kampung halamannya. Dukungan inilah yang kemudian melahirkan perasaan balas budi yang mendorong anak rantau untuk melakukan tindakan seperti mengirimkan gajinya kepada keluarga di kampung halaman.

Namun, bagaimana jika tindakan ini bukan menjadi bentuk balas budi syukur pada keluarga di kampung? Bagaimana jika fenomena ini menjadi suatu keharusan yang mengekang keputusan finansial si anak rantau yang dikendalikan oleh jaringan kekerabatan? Maka, apa yang dimulai sebagai hubungan sosial yang hangat bisa perlahan berubah menjadi sangkar emas yang menyesakkan.
Logika Hati di atas Logika Pasar
Ekonomi klasik memandang manusia sebagai homo economicus, aktor rasional yang terisolasi dan selalu berusaha memaksimalkan keuntungan pribadi. Jika seorang anak rantau berpegang pada prinsip ini, keputusan finansialnya akan sederhana yakni mengalokasikan pendapatannya untuk tabungan, investasi, dan kebutuhan pribadi demi masa depan yang terjamin. Namun, kenyataan jauh lebih rumit.
Bagi seorang anak rantau, aset sosial yang paling berharga adalah posisi mereka dalam keluarga: sebagai anak yang berbakti, abang yang bisa diandalkan, atau kebanggaan keluarga. Setiap keputusan untuk mengirimkan uang bukanlah kalkulasi untung-rugi, melainkan sebuah tindakan untuk merawat dan mempertahankan aset sosial tersebut.

Sosiolog Mark Granovetter mempertajam ide ini dengan menyatakan bahwa tindakan ekonomi kita dibentuk oleh “hubungan personal yang konkret”. Ketika ibu di kampung meminta uang untuk biaya pengobatan, logika yang bekerja bukanlah logika pasar, melainkan logika hati dan kewajiban yang terlekat dalam hubungan ibu-anak. Menolak permintaan tersebut bukan sekadar keputusan finansial, melainkan sebuah risiko sosial yang dapat mengancam status dan harmoni dalam keluarga.
Transformasi dari Bakti menjadi Beban
Pada awalnya, mengirimkan gaji kepada keluarga di kampung halaman terasa indah. Kesuksesan seorang perantau tidak hanya dilihat sebagai pencapaian pribadi, tetapi juga sebagai keberhasilan bersama. Mengirimkan uang ke kampung halaman adalah ekspresi syukur, cinta, dan cara membahagiakan orang tua yang telah membesarkan dan mendidik anak rantau sedari dia kecil. Momen ketika seorang anak bisa merenovasi rumah orang tua atau membiayai sekolah adik adalah puncak dari kebahagiaan seorang perantau.
Namun, tanpa disadari, sering kali ada titik balik di mana bakti mulai terasa seperti beban. Titik ini terjadi ketika bantuan sukarela berubah menjadi tanggungan yang diharapkan. Ketika permintaan yang sifatnya darurat bergeser menjadi permintaan untuk gaya hidup konsumtif.

Telepon yang tadinya berisi doa dan dukungan kini lebih sering berisi daftar kebutuhan konsumtif yang hanya jadi bahan pameran ke tetangga atau digunakan untuk kebutuhan yang bukanlah kebutuhan keluarga inti si anak rantau. Hal-hal seperti cicilan motor sepupu, biaya pernikahan keluarga jauh, hingga modal untuk usaha kerabat yang kesekian kali gagal juga menjadi tanggungan si anak rantau.
Di fase inilah sang anak emas perlahan bertransformasi menjadi ATM keluarga. Mereka dituntut untuk selalu “ada” dan “bisa”, menjawab setiap panggilan, tanpa celah untuk menolak. Tekanan psikologis yang lahir dari peran ini sungguh berat. Rasa bersalah menggerogoti hanya karena terpikir untuk berkata “tidak”, sedangkan kecemasan menghantui setiap kali nama keluarga menyala di layar ponsel.
Akhirnya, kesuksesan yang semestinya membebaskan justru berbalik menjadi penjara. Mereka merasa dicintai bukan lagi sebagai individu, tetapi sebagai sebuah sumber daya finansial. Gajinya bukan lagi miliknya, anak rantau tidak lagi bisa menikmati penghasilannya. Tidak ada tabungan, tidak ada investasi, tidak merasa semakin sejahtera, yang ada hanya beban finansial keluarga.

Menuju Makna Baru Kesuksesan
Mengurai benang kusut ini bukanlah perkara mudah. Ini bukan tentang menyalahkan keluarga atau mendorong anak rantau untuk menjadi individualistis dan melupakan keluarganya. Ini tentang memulai pengertian baru yang jujur, tentang mendefinisikan ulang makna “bakti” dan “tanggung jawab” itu sendiri.
Bakti tidak harus berarti mengorbankan masa depan dan kesehatan mental diri sendiri. Tanggung jawab bisa diwujudkan dalam bentuk dukungan yang lebih berkelanjutan, seperti membantu menciptakan peluang alih-alih memberikan uang tunai secara terus-menerus. Keluarga perlu menyadari bahwa kesuksesan seorang anak di perantauan adalah hasil kerja keras yang rapuh, bukan sumber daya tak terbatas yang bisa dieksploitasi.
Pada akhirnya, kesuksesan sejati seharusnya membebaskan, bukan memenjarakan. Sudah saatnya kita mencari titik keseimbangan baru di mana akar kekerabatan yang menjadi fondasi kita dapat menopang dan menutrisi pertumbuhan kita, bukan malah mencengkeram dan menahannya.