
Terdakwa kasus suap vonis lepas korupsi ekspor CPO, Djuyamto, mengaku sempat menerima tawaran uang sejumlah Rp 20 miliar. Uang itu ditawarkan jika eksepsi para terdakwa dalam kasus korupsi ekspor CPO dikabulkan.
Hal tersebut disampaikan Djuyamto saat diperiksa sebagai saksi mahkota dalam persidangan kasus suap vonis lepas ekspor CPO di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (15/10).
Mulanya, jaksa penuntut umum (JPU) menggali keterangan Djuyamto dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang mengungkap adanya tawaran uang Rp 20 miliar.
“Ini bagaimana ini bisa tiba-tiba ada keterangan saudara di BAP ini, ada uang penawaran Rp 20 miliar, keterangan siapa?” tanya jaksa.
Djuyamto menjelaskan, keterangan itu disampaikan pada penyidik saat kali pertama dia diperiksa.
Dalam keterangannya, Djuyamto bercerita, dalam penanganan perkara itu memang muncul banyak intervensi. Misalnya datang dari eks Ketua PN Jakpus, Rudi Suparmono, hingga eks Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan. Termasuk soal tawaran Rp 20 miliar tersebut.
“Itu pasca saya ditunjuk sebagai ketua majelis, perkara sudah masuk ke eksepsi dari penuntut umum. Jadi selain dari katakanlah upaya-upaya yang kemarin sudah kita dengar dari pihak Pak Wahyu, kemudian dari Pak Rudi, sebetulnya ada dari banyak pihak yang berupaya intervensi ke saya khusus untuk perkara eksepsi, untuk kabulkan eksepsi. Tapi saya… dan saya ingat termasuk ada yang menawarkan saya itu (uang Rp 20 miliar), tapi saya tidak mau,” jelas Djuyamto.
Jaksa lalu bertanya kepada Djuyamto bahwa tawaran uang tersebut datang dari Wahyu Gunawan. Djuyamto membantahnya, namun dia tak merinci lebih jauh sosok yang menawarkan uang tersebut.
“Tapi untuk kepentingan perkara migor juga?” tanya jaksa.
“Iya, eksepsi minta dikabulkan,” ucap Djuyamto.
Suap Vonis Lepas CPO
Dalam kasus itu, tiga orang hakim yang menjatuhkan vonis lepas dalam perkara persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) didakwa menerima suap dan gratifikasi.
Ketiga hakim tersebut yakni Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom. Mereka didakwa menerima suap secara bersama-sama dengan eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, dan mantan Panitera Muda PN Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.
Kelimanya didakwa menerima total uang suap sebesar Rp 40 miliar dalam menjatuhkan vonis lepas perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut uang diduga suap tersebut diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe’i selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Uang suap senilai Rp 40 miliar itu kemudian dibagi-bagi oleh Arif, Wahyu, dan tiga orang hakim yang mengadili perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.
Rinciannya, yakni Arif didakwa menerima bagian suap sebesar Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima sekitar Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing mendapatkan bagian uang suap senilai Rp 6,2 miliar.
Untuk Arif, ia didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Wahyu didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian, Djuyamto, Agam, dan Ali didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.