
Tradisi makan bersama bukan hal asing bagi masyarakat Indonesia. Hampir di setiap daerah punya kebiasaan tersebut, ini menjadi simbol kebersamaan yang dilakukan di momen-momen penting, seperti pernikahan, syukuran, atau acara adat lainnya.
Di Ternate Maluku Utara (Malut) misalnya, ada satu tradisi makan bersama yang dikenal dengan nama makan saro. Tradisi ini merupakan ritual adat yang biasanya dilakukan dalam acara pernikahan.
Hidangan yang disajikan dalam makan saro pun beragam dan sarat simbol. Beberapa di antaranya adalah nasi kuning, bubur srikaya, kobo yaitu ketupat berbentuk kerbau, jaha atau pali-pali, nanasi yaitu ketupat berbentuk nanas, ikan dan terung, bubur kacang hijau atau gule-gule tamelo, boboto atau perkedel ikan, serta agi atau sup gula ikan.
Dikutip dari laman Kapita Provinsi Maluku Utara, biasanya makanan saro disajikan sebagai lambang doa untuk memberkati kedua mempelai.
Menariknya, tradisi makan saro kini telah resmi terdaftar sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) dalam kategori Ekspresi Budaya Tradisional oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM. Tradisi ini dikategorikan sebagai ritual upacara adat.

Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Maluku Utara, Budi Argap Situngkir, menjelaskan bahwa ekspresi budaya tradisional mencakup berbagai bentuk karya cipta, baik berupa benda maupun tak benda, yang menunjukkan identitas suatu budaya dan diwariskan secara turun-temurun. Sama halnya seperti tari, seni, kerajinan tangan, atau ekspresi artistik lainnya yang merefleksikan nilai dan identitas masyarakat.
Menurut Budi, pencatatan kekayaan intelektual seperti ini penting dilakukan agar budaya daerah tidak diklaim oleh pihak lain. “Selain itu dapat memberikan manfaat bagi pariwisata, ekonomi masyarakat, dan pelestarian budaya tradisional secara turun-temurun,” ujarnya.
Karena itu, ia mendorong pemerintah daerah dan masyarakat untuk terus bersinergi dalam melindungi kekayaan budaya Maluku Utara melalui pencatatan ke DJKI. Tujuannya mengidentifikasi potensi kekayaan intelektual komunal di Malut seperti ekspresi budaya tradisional, pengetahuan tradisional, potensi indikasi geografis, sumber daya genetik, dan ragam potensi lainnya untuk dilindungi dan diberdayakan bagi kepentingan masyarakat.