
Suatu pagi di Sabra—sebelum debu reruntuhan benar-benar mengendap—suara kamera Saleh Al-Jafarawi masih sempat merekam wajah-wajah manusia yang ketakutan. Beberapa jam kemudian, ia ditemukan tergeletak ditembak tujuh peluru. Saleh gugur bukan di garis depan pertempuran, melainkan di garis paling sunyi: antara kebenaran dan kebisuan. Namanya kini hanya satu dari lebih dari 240 jurnalis Palestina yang telah tewas sejak 7 Oktober 2023. Dunia menyebutnya “konflik”, Namun sesungguhnya, itu adalah pemusnahan sistematis terhadap para saksi sejarah.
Pembunuhan terhadap jurnalis di Gaza bukan sekadar efek samping perang; ia adalah strategi penghapusan ingatan. Saat kamera dimatikan, sejarah bisa diubah. Ketika jurnalis dibungkam, siapa pun yang berkuasa dapat menulis ulang kenyataan. Di balik layar, mekanisme ini bekerja rapi: penguasaan infrastruktur komunikasi, blokade akses internet, sensor algoritmik di platform media sosial, hingga operasi kelompok bersenjata yang—dengan atau tanpa kesadaran—menjadi alat perang naratif. Dalam lanskap seperti ini, kebenaran tidak hanya dibungkam, tetapi juga dipelintir, dimanipulasi, dan dibungkam di balik narasi yang disponsori.

Konsekuensinya lebih dalam dari sekadar kehilangan nyawa. Tanpa dokumentasi yang utuh dan dapat diverifikasi, bukti genosida menjadi rapuh, dan tuntutan hukum kehilangan pijakan. Di tengah kekacauan ini, dunia internasional masih terjebak dalam bahasa diplomatik, sementara lapangan berubah menjadi “zona hening buatan”—tempat di mana fakta dan saksi lenyap bersamaan.
Namun, di tengah keterpurukan itu, muncul benih harapan: inisiatif seperti Mnemonic, PCHR, dan Law for Palestine kini mengumpulkan jutaan foto, video, dan testimoni digital untuk membangun arsip bukti perang yang aman dari penghapusan. Beberapa proyek, seperti Gaza Tribunal dan Fighting Erasure, bahkan menggabungkan dokumentasi budaya dan bukti kemanusiaan sebagai bentuk perlawanan terhadap penghapusan sejarah. Ide besar ini dikenal sebagai Independent Gaza Evidence Repository—repositori bukti global berbasis teknologi forensik dan blockchain yang diharapkan bisa memastikan kebenaran tak dapat dimusnahkan oleh bom, veto, atau propaganda.

Namun, tantangan besar tetap datang dari dalam. Perpecahan politik dan sosial di Gaza menjadi celah yang terus dimanfaatkan oleh kekuatan luar. Adu domba, saling tuduh, dan perebutan legitimasi membuat perjuangan kehilangan fokus moralnya. Gaza perlu memulai rekonsiliasi baru—berbasis kesadaran kolektif, bukan kepentingan faksi. Ulama, akademisi, dan tokoh sipil harus menjadi jembatan nilai, memastikan bahwa narasi perjuangan tidak jatuh ke tangan pihak yang hanya mencari kuasa. Hanya dengan persatuan yang solid, semua upaya untuk melestarikan sejarah dan mengambil hikmah pelajaran untuk membangun ke depan bisa dilakukan.
Pada akhirnya, pertarungan Gaza tidak hanya soal bertahan hidup di bawah serangan militer dan kekerasan, tetapi juga bertahan agar sejarahnya tidak dirampas. Ketika para jurnalis gugur, tugas melanjutkan kebenaran berpindah ke tangan kita semua—penulis, pembaca, dan masyarakat global yang menolak lupa. Sebab, jika dunia berhenti mencatat, kemanusiaan berhenti belajar. Lalu, saat hal itu terjadi, bukan hanya Gaza yang kalah, melainkan kita semua.