
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menilai tidak semua persoalan hukum harus diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Hal itu ia sampaikan saat menerima aspirasi dari Aliansi Mahasiswa Nusantara (Aman) terkait revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (15/10), Habiburokhman menyinggung pentingnya penerapan restorative justice dalam revisi KUHAP.
Menurutnya, banyak kasus sepele yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan, namun justru berujung di meja hijau. Ia mencontohkan, kasus guru yang dipidana hanya karena menegur atau menjewer murid.
“Sekarang aja ada guru cubit murid jadi pidana, guru jewer murid jadi masalah. Dulu kita dipukul pakai penggaris kayu besar kan kita jadi tertib, tadinya nggak hafal doa tertentu, jadi hafal,” kata Habiburokhman.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menjelaskan, konsep restorative justice sebenarnya bukan hal baru dalam budaya hukum Indonesia. Ia menilai prinsip tersebut sudah lama hidup dalam hukum adat, termasuk dalam Qanun di Provinsi Aceh.
“Kalau masalah interaksi masyarakat, apalagi hanya ITE, ujaran, perkelahian pemuda, kalau zaman dulu jarang yang sampai ke kepolisian. Karena kedua belah pihak bisa berbicara dengan keluarga besarnya masing-masing. Malah dari berkelahi, jadi saudara,” ujarnya.
Habiburokhman menegaskan, semangat hukum adat seperti itu akan dieksplorasi dan diformulasikan ke dalam revisi KUHAP agar tidak terjadi tumpang tindih antara hukum adat dan hukum nasional.
“Nah ini nilai-nilai yang sebetulnya baik, yang sudah kita praktikkan dulu, kita eksplorasi lagi mau kita masukkan ke norma hukum kita. Supaya kalau jadi norma, nggak semua-semua salah itu harus ke pengadilan,” lanjutnya.

Belakangan kasus yang melibatkan guru dan murid menuai sorotan. Terbaru, insiden Kepala SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, yang menampar seorang siswa karena kedapatan merokok memicu gelombang protes dari siswa. Mereka mogok belajar.
Peristiwa ini juga disorot oleh pemerintah daerah. Peristiwa yang terjadi saat kegiatan sekolah itu menyebabkan ratusan murid mogok, keluarga korban mengancam melapor ke polisi, dan kepala sekolah akhirnya dinonaktifkan sementara sambil proses pemeriksaan berjalan.