
Di era digital seperti sekarang, segalanya terasa hanya sejauh ujung jari. Mulai dari pesan makanan, beli baju, sampai checkout skincare dan make up yang bahkan belum tentu dibutuhkan, semua bisa dilakukan dalam hitungan detik. Gen Z—yang tumbuh di tengah derasnya arus teknologi dan media sosial—kini jadi sorotan dalam fenomena baru: krisis keinginan.
Krisis keinginan bukan soal tidak tahu apa yang diinginkan, melainkan justru sebaliknya—terlalu banyak yang diinginkan. Di tengah banjir informasi dan iklan bertabur promo, Gen Z sering kali kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Notifikasi “flash sale tinggal 5 menit lagi!” seolah jadi mantra ajaib yang membuat siapa pun tiba-tiba merasa harus membeli sesuatu.

Kehidupan Serba Instan dan Dorongan FOMO
Gen Z hidup di era serba cepat. Kecepatan akses dan kemudahan teknologi membuat keinginan jadi semakin impulsive. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) ikut memperkuat dorongan tersebut. Melihat teman di media sosial pamer barang baru, outfit yang sedang hype, atau gadget terbaru, sering kali memunculkan rasa ingin memiliki—tidak karena benar-benar butuh, tapi karena takut terlihat ketinggalan.
Bukan rahasia lagi, algoritma media sosial tahu betul cara menggoda kita. Sekali mencari “sepatu trendi”, feed langsung dipenuhi iklan sepatu dengan berbagai warna dan diskon. Pada akhirnya, keputusan membeli sering lebih didorong emosi daripada logika.
Konsumsi sebagai Identitas atau Personal Branding
Menariknya, bagi banyak Gen Z, konsumsi bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan juga cara membangun identitas. Apa yang dipakai, dibeli, dan dibagikan di media sosial menjadi bagian dari citra diri. Trend seperti “clean look”, “old money aesthetic”, atau “leopard fits” membuat banyak anak muda merasa perlu mengikuti gaya tertentu agar diterima dalam lingkar sosial digitalnya.

Sayangnya, hal ini sering berujung pada siklus impulsive buying yang sulit dikendalikan. Beli karena tren, lalu menyesal saat saldo menipis. Ironisnya, semakin sering mengalaminya, semakin “biasa” rasanya— seolah belanja jadi pelarian emosional yang sah-sah saja.
Mencari Makna di tengah Derasnya Keinginan
Meski begitu, tidak semua Gen Z menyerah pada arus konsumtif ini. Mulai banyak yang sadar dan mencoba hidup lebih sadar (mindful living). Mereka mulai menanyakan ulang: “Apakah aku benar-benar butuh ini?” atau “Apakah ini cuma keinginan sesaat?”. Suatu langkah kecil, tetapi menunjukkan kesadaran bahwa kebebasan digital juga perlu diimbangi dengan kendali diri.
Di era ketika hasrat bisa diwujudkan hanya lewat satu sentuhan layar, kemampuan menahan diri justru jadi bentuk kekuatan baru. Pada akhirnya, yang menentukan siapa kita bukan seberapa banyak yang bisa dibeli, melainkan seberapa bijak kita mengelola keinginan.