
Di negeri ini, pejabat publik bisa bicara sesuka hati: ada yang janji bulan jatuh ke pangkuan rakyat, ada yang menyalahkan rakyat karena kemiskinan, dan ada yang sok paling tahu padahal menyesatkan. Semua itu wajar. Tapi begitu seorang ASN mengkritik, tiba-tiba keluar mantra sakti: netralitas ASN! Seolah netral berarti diam dan mengangguk bukan berpikir.
Padahal, ASN bukan robot birokrasi tanpa rasa. Mereka manusia biasa yang digaji negara sekaligus warga negara yang berhak berbicara. Pasal 28E UUD 1945 jelas menjamin kebebasan setiap orang untuk menyatakan pendapat. “Setiap orang” itu termasuk ASN. Jika konstitusi memberi hak, mengapa birokrasi merampasnya hanya karena pejabat tak tahan dikritik?
Netralitas memang diatur UU ASN dan PP No. 94 Tahun 2021, tapi mari jujur: konteksnya jelas, yaitu tidak berpihak pada partai politik atau ikut kampanye. Netral bukan berarti menutup mata saat kebijakan publik menyengsarakan rakyat. Netral bukan berarti membiarkan pejabat sembrono. Netral juga bukan berarti terus memuji seperti keran air yang hanya tahu kata “baik, Pak, siap, Bu”.
Kritik justru tanda loyalitas. ASN yang berani bicara bukan sedang membangkang, melainkan memberi peringatan. Mereka tahu persis bagaimana kebijakan jatuh di lapangan. Aturan yang mulus di kertas bisa berantakan di lapangan, program tergesa-gesa bisa mangkrak, aturan yang tak dikaji matang bisa menyusahkan rakyat. Jika ASN dilarang bersuara, lalu siapa yang akan memperingatkan pejabat? netizen dengan meme sarkastis di media sosial?
Di banyak negara demokrasi, ASN tetap punya ruang untuk menyampaikan kritik. Civil servants di Inggris boleh mengkritik kebijakan selama tak membocorkan rahasia negara. Di Amerika Serikat, pegawai negeri dilindungi oleh First Amendment, meski tetap ada rambu etik. ASN boleh bicara sejauh substansinya demi kepentingan publik, bukan politik partisan. Indonesia justru kebalikannya: seorang ASN bisa dijatuhi hukuman hanya karena unggahan Facebook, komentar WhatsApp, atau sindiran ringan. Ironis, sebab pejabat sering berbicara ngawur tanpa konsekuensi.
Demokrasi tanpa kritik hanyalah otokrasi yang berdandan. Birokrasi yang bisu hanya akan melahirkan pemerintah yang tuli. Semua tampak kompak dan rapi, tetapi sebenarnya itu hanya barisan “yes man” yang mengangguk sambil menunggu perintah. Kritik memang bising, kadang menyakitkan, tapi itulah alarm kebijakan: tak menyenangkan, tapi menyelamatkan.
Membungkam ASN atas nama netralitas adalah kesalahan fatal. Netral secara politik, iya. Tapi ASN tetap punya hak konstitusional untuk bersuara. Jika salah bicara, mekanisme etik bisa menegur, bukan palu besar yang menghancurkan kebebasan. Pemerintah yang alergi kritik ibarat penguasa yang sakit jiwa demokrasi: ia tak mau disembuhkan, hanya ingin dipuji. Padahal pujian tanpa kritik adalah racun yang manis menenangkan, tapi mematikan.
Birokrasi yang takut bicara hanya akan melahirkan pemerintah yang tuli. ASN tidak seharusnya dikurung dalam ruang bisu. Karena pada akhirnya, kritik bukanlah bentuk pembangkangan pada kekuasaan, melainkan bentuk kesetiaan tertinggi pada bangsa. Dan bila suara mereka dibungkam, maka yang berbicara hanyalah kekuasaan, dan demokrasi kita akan berbisik lewat sarkasme ironis, tak menyenangkan, tapi tak bisa diabaikan.