
Di era digital, dunia terasa semakin kecil karena arus informasi menghubungkan orang dari berbagai belahan dunia melalui satu sentuhan layar. Konsep ini dikenal sebagai global village, sebuah gagasan yang pertama kali diperkenalkan oleh pakar media Marshall McLuhan pada 1960-an.
McLuhan mengatakan bahwa perkembangan teknologi komunikasi, terutama media elektronik, akan membuat dunia terasa seperti satu “desa besar”. Di dalam “desa” ini, informasi bisa menyebar secara instan tanpa hambatan jarak dan waktu. Artinya, apa yang terjadi di satu tempat bisa diketahui oleh orang lain di belahan dunia lain dalam waktu bersamaan.
Fenomena global village tampak pada berbagai aspek kehidupan. Tren fashion, musik, kuliner, media sosial, hingga gerakan sosial global kini bergerak melintasi batas negara hanya dalam hitungan detik. Dunia seolah menjadi satu ruang bersama di mana budaya, ide, dan informasi saling bertemu dan saling membentuk.

Fenomena global village terlihat dalam dunia musik saat ini. Salah satu contohnya datang dari penyanyi Indonesia yang kini mendunia: NIKI dengan cover lagu You’ll Be in My Heart yang menambahkan unsur gamelan Indonesia. Suara instrumen gamelan yang biasanya hanya terdengar di acara budaya lokal, kini menjangkau pendengar internasional melalui global platform seperti YouTube dan Spotify.
Musik dari NIKI yag menorehkan budaya musik tradisional Indonesia (khususnya Bali) merupakan perwujudan nyata dari global village: budaya lokal ikut “berpindah” dan bertransformasi dalam arus globalisasi informasi. Masyarakat dari berbagai negara dapat mengakses, mendengar, bahkan mengapresiasi musik gamelan dari gawai mereka.
Bagi masyarakat indigenous atau masyarakat adat, fenomena ini punya dua sisi. Di satu sisi, globalisasi informasi memberi peluang besar. Budaya lokal mulai dari musik, tarian, bahasa, hingga cerita rakyat dapat terdokumentasi dan disebarkan ke seluruh dunia. Budaya yang dulu hanya hidup di satu komunitas kecil kini bisa dikenal global.

Dari peluang besar tersebut tentu ada risiko. Ketika budaya lokal dikonsumsi secara global, kontrol atas narasi dan manfaatnya sering kali lepas dari tangan komunitas asal. Gamelan dapat dipakai dalam berbagai karya musik internasional, tetapi masyarakat adat sebagai sumber budaya tersebut tidak selalu dilibatkan atau diakui. Dalam kondisi seperti ini, global village menjadi ruang di mana budaya lokal dimanfaatkan tanpa makna yang utuh dan tanpa kendali dari pemilik aslinya.
Tantangan besar berada di era globalisasi informasi. Dunia terasa seperti satu desa, tetapi bukan berarti semua orang punya posisi yang sama di dalamnya. Penting bagi komunitas indigenous dan negara untuk memperkuat pelestarian budaya; bukan hanya dengan promosi, melainkan juga dengan perlindungan hak budaya dan pelibatan aktif komunitas asal.
Kehadiran gamelan dalam lagu NIKI menjadi contoh kuat bagaimana budaya Indonesia punya daya tarik global. Namun di tengah derasnya arus informasi, identitas budaya harus tetap dimiliki dan dikendalikan oleh mereka yang mewarisinya.