
Industri farmasi Indonesia saat ini masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri untuk memproduksi obat. Bahan baku hasil importasi itu menempati 94 persen dari total bahan baku industri farmasi Indonesia.
Professor of Pharmaceutical Biotechnology dan Business Development & Scientific Affairs Director Dexa Group, Raymond R. Tjandrawinata, mengatakan potensi bahan baku farmasi berbasis alam di Indonesia sangat besar. Bahkan banyak perusahaan farmasi multinasional yang mencari bahan baku ke Indonesia.
Dia menyoroti Indonesia menempati posisi kedua dunia setelah Brasil dalam hal keanekaragaman hayati (biodiversitas), dengan sekitar 20.000–30.000 spesies tanaman obat. Namun, pemanfaatannya untuk industri farmasi masih sangat terbatas.
“Sekarang ini baru ada 20 fitofarmaka dan 70 Obat Herbal Terstandar (OHT). Kalau jamu memang banyak, tapi jamu sifatnya promotif dan preventif, bukan kuratif. Sementara untuk yang berbasis studi ilmiah seperti OHT dan fitofarmaka masih sedikit,” tutur Raymond kepada awak media di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (14/10).
Raymond kemudian membeberkan tantangan utama mengapa pemanfaatan sumber daya alam Indonesia untuk bahan baku industri farmasi masih minim, yaitu keengganan industri berinvestasi dan minimnya dukungan kebijakan pemerintah.
“Nomor satu memang keengganan industri untuk berinvestasi. Tapi kita juga tidak bisa menyalahkan industri, karena penggunaan obat berbasis biodiversitas Indonesia di sistem pemerintah juga masih sedikit,” tuturnya.

Menurut Raymond, hambatan terbesar justru ada pada regulasi pemerintah, terutama terkait sistem jaminan kesehatan nasional. Dia menyoroti BPJS Kesehatan yang belum memasukkan obat-obat berbasis bahan alam Indonesia ke dalam formularium nasional, sehingga dokter tidak bisa meresepkannya di fasilitas kesehatan.
“Coba tanya, siapa di antara kita yang tidak punya kartu BPJS? Pasti hampir semua punya. Tapi kalau saya ke dokter dan minta obat yang berbasis biodiversitas, pasti tidak dikasih. Menurut BPJS, itu tidak ada dalam formularium,” kata Raymond.
Dia menilai, selama Kementerian Kesehatan belum membuka akses bagi obat fitofarmaka dan herbal terstandar ke dalam formularium nasional, maka industri tidak akan terdorong untuk memproduksi bahan baku farmasi lokal.
Jika pemerintah sudah membuka kran pemanfaatan OHT, maka industri juga perlu bersiap meningkatkan kapasitas produksi, riset, dan pengembangan bahan baku aktif farmasi atau Active Pharmaceutical Ingredient (API) dari sumber daya alam Indonesia.
“PR-nya masih di pemerintah. Tapi begitu sudah dibuka, industri juga harus siap dengan produk-produk baru dan kapasitas produksinya,” jelasnya.