
KPK memberikan penjelasan terkait pertemuan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, dengan Direktur Utama Dana Pensiun BRI, Ngatari.
Ngatari merupakan salah satu saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat electronic data capture (EDC) yang tengah diusut KPK.
Pertemuan itu terjadi dalam acara bertajuk “Leadership with Integrity for Excellent Leader” di Jakarta pada Selasa (7/10).
Padahal, berdasarkan Pasal 36 UU KPK, pimpinan KPK dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa Tanak menghadiri acara tersebut sebagai narasumber dengan tujuan memberikan edukasi pencegahan korupsi.
“Jadi begini, dalam pertemuan tersebut, pimpinan KPK diundang sebagai narasumber untuk kegiatan edukasi, khususnya terkait pencegahan korupsi di sektor usaha, dalam hal ini sektor keuangan,” ujar Budi kepada wartawan, Selasa (14/10).
Budi mengungkapkan, pertemuan tersebut juga dilakukan secara terbuka. Ada pula sejumlah pihak lain yang turut hadir dalam kegiatan itu.
“Sehingga pertemuan itu juga tidak akan memengaruhi jalannya proses penanganan perkara di KPK,” ucapnya.
KPK kini memang tengah mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan alat Electronic Data Capture (EDC) yang ditaksir merugikan keuangan negara sebesar Rp744,5 miliar.
Lima tersangka yang telah ditetapkan yakni:
-
Catur Budi Hartono, Wakil Direktur Utama BRI 2019-2024;
-
Indra Utoyo, Direktur Digital Teknologi Informasi dan Operasi BRI 2020-2021;
-
Dedi Sunardi, SEVP Management Aktiva dan Pengadaan BRI;
-
Elvizar, Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi (PCS) selaku penyedia EDC; dan
-
Rudy S. Kartadidjaja, PT Bringin Inti Teknologi.
Kasus ini bermula pada 2019, ketika Elvizar selaku pemilik dan direktur utama PT PCS beberapa kali bertemu dengan Indra Utoyo dan Catur Budi Hartono. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa Elvizar akan menjadi vendor pengadaan EDC Android dengan menggandeng PT BRI IT.
Proses pemilihan vendor dilakukan tanpa lelang dan secara tertutup. Hanya dua merek yang diuji kelayakan teknis (proof of concept), yakni SUNY dan Verifone, yang dibawa oleh Elvizar dan PT BRI IT. Padahal, saat itu ada merek lain seperti Nira, Ingenico, dan PAX yang tidak diberi kesempatan ikut.
TOR (term of reference) pengadaan juga diubah untuk menguntungkan vendor tertentu. Syarat uji teknis dimasukkan ke TOR agar hanya dua merek tersebut yang memenuhi syarat lelang.
Selain itu, penyusunan harga tidak mengacu pada harga dari prinsipal, melainkan dari vendor yang sudah diatur. Hal itu membuat harga sewa dan beli EDC jauh lebih tinggi dari seharusnya.
Total pengadaan EDC Android untuk skema sewa selama 2021-2024 mencapai Rp1,25 triliun, dengan rincian:
-
PT BRI IT sebanyak 85.195 unit senilai Rp628,7 miliar,
-
PT PCS sebanyak 100.244 unit senilai Rp557,1 miliar, dan
-
PT VPS 14.628 unit senilai Rp72,5 miliar.
Tak hanya mahal, proyek ini pun disubkontrakkan.
KPK juga menemukan adanya pemberian fee kepada sejumlah pihak. Catur Budi disebut menerima uang Rp525 juta, sepeda, dan seekor kuda dari Elvizar. Dedi Sunardi menerima sepeda senilai Rp60 juta.
Sementara Rudy S. Kartadidjaja menerima uang Rp19,72 miliar dari IP dan TR, pihak PT Verifone, pada 2020-2024 atas pekerjaan BRILink dan FMS.
Total kerugian negara yang dihitung sementara oleh penyidik KPK bersama auditor adalah Rp744.540.374.314, berdasarkan selisih antara harga pengadaan dari vendor dan harga langsung dari prinsipal.