Isu Gender merupakan berbagai permasalahan yang muncul akibat dari perbedaan perlakuan dan kesempatan bagi laki-laki ataupun perempuan. Hal tersebut juga disebabkan oleh norma dan budaya masyarakat yang muncul dengan memihak pada salah satu gender sehingga menimbulkan bias. Seperti yang dikemukakan oleh Umar Mukhtar (2021), gender adalah konstruksi sosial yang membedakan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Rif’ah dkk. (2020) bahwa gender bukanlah jenis kelamin, melainkan perbedaan peran yang dibentuk oleh faktor sosial dan budaya.
Salah satunya adalah isu gender dalam dunia pendidikan. Permasalahan biasanya berpusat pada adanya perbedaan akses pendidikan, kesempatan melanjutkan sekolah ke tingkat lebih lanjut, sampai ke pada pemilihan jurusan tertentu. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membandingkan isu gender dalam dunia pendidikan dengan mengetahui lebih dalam hambatan yang dihadapi dan upaya yang dilakukan antara Jepang dan Indonesia.
Di Jepang, akses pendidikan dasar sudah sangat setara untuk laki-laki dan perempuan. Namun di tingkat perguruan tinggi ditemukannya kesenjangan. Menurut Data dari British Council – Status of Gender Equality in HE (2024): Di Jepang tahun 2022, total mahasiswa di universitas (dan perguruan tinggi terkait) sebanyak ~2,930,780 orang.
Dari jumlah itu, 55,5% laki-laki dan 44,5% perempuan. Permasalahan ada pada distribusi jurusan yang diambil tidak seimbang. Mahasiswa perempuan di Jepang kebanyakan mengambil jurusan bidang humaniora, seni dan kesehatan, sementara yang mengambil jurusan bidang sains teknologi, engineering, dan matematika (STEM) tergolong masih sedikit.

Hal tersebut menunjukkan adanya penyebab dari faktor kuatnya stereotip gender di masyarakat. Bahwa jurusan sains teknologi, engineering, dan matematika cocoknya diambil oleh laki-laki. Jika perempuan ikut mengambil jurusan STEM dianggap terlalu maskulin dan tidak cocok.
Lalu, memang di Jepang lingkungan pekerjaan jurusan STEM dikenal lebih berat dan keras dan tidak ramah bagi perempuan, seperti adanya jam kerja yang panjang dan nantinya akan sulit membagi waktu dengan kehidupan keluarga.
Sehingga dari berbagai faktor tersebut memengaruhi dampak rendahnya peran perempuan di bidang STEM di Jepang. Lalu adanya ketimpangan di dunia kerja teknologi dan sains bahwa di bagian industri teknologi Jepang kekurangan tenaga kerja tetapi kesempatan tersebut lebih banyak diisi oleh laki-laki daripada perempuan. Dan dikarenakan role model perempuan di bidang STEM tidak banyak, membuat siswi Jepang kurang percaya diri untuk masuk jurusan tersebut.
Sementara itu di Indonesia, isu gender yang dalam dunia pendidikan lebih menonjol pada akses ke jenjang sekolah yang lebih tinggi dan dampak faktor sosial budaya. Memang akses pendidikan di Indonesia relatif sudah merata. Namun persoalan mulai muncul di saat harus menempuh tahap SMP-SMA, hal itu adalah hambatan yang dihadapi anak perempuan yang ternyata cukup banyak yang terpaksa putus sekolah.
Alasan putus sekolah itu pada umumnya adalah adanya permasalahan pada kondisi sosial-ekonomi dan budaya. Kebanyakan ada di faktor ekonomi keluarga yang tidak mampu membiayai sekolah. Di beberapa daerah pedesaan pun kerap masih melakukan tradisi pernikahan dini yang akhirnya membuat anak tidak bisa melanjutkan pendidikan. Selain itu juga beberapa anak perempuan masih sering dimintai untuk membantu pekerjaan rumah dan menjaga adik. Sehingga mereka lebih terfokuskan pada tugas tersebut daripada sekolah.

Lalu terkait kondisi serupa seperti dengan Jepang juga terjadi di Indonesia, dimana peminat jurusan STEM tergolong masih sedikit. Seperti adanya Penelitian “Psychometric evidence …” menyebut bahwa di universitas teknik di Indonesia, kurang dari 30% mahasiswa teknik adalah perempuan. Sama seperti Jepang, di Indonesia jurusan STEM juga dianggap jurusan milik laki-laki. Di sisi lain, keterbatasan fasilitas pendidikan STEM di beberapa daerah serta dukungan keluarga yang lebih condong kepada anak laki-laki untuk menempuh jurusan yang dianggap “bergengsi” semakin memperkuat kesenjangan ini.
Dampak yang dihasilkan pun adalah seperti rendahnya representasi perempuan di bidang pekerjaan STEM. Menurut Artikel Antara News: menyebut bahwa menurut data BPS, perempuan hanya sekitar 30 % dari tenaga kerja di STEM. Hal ini akhirnya menjadi dampak sosial jangka panjang yang dimana keterbatasan perempuan dalam bidang STEM membuat potensi SDM Indonesia tidak tergali secara maksimal.
Melalui pendalaman permasalahan isu gender dalam dunia pendidikan di Indonesia dan Jepang ini dapat kita ketahui bahwa persamaan permasalahan utama dari yang dihadapi oleh Jepang dan Indonesia adalah peran perempuan dalam dunia pendidikan khususnya bidang STEM.
Dan perbedaannya dari isu gender masing-masing negara adalah Jepang lebih kepada pilihan dan keputusan jurusan dan Indonesia lebih kepada akses dan kesempatan. Hal ini menunjukkan bahwa isu gender dalam dunia pendidikan di Jepang lebih kepada pengaruh stereotip pekerjaan dan lingkungannya yang tidak ramah bagi perempuan, sedangkan di Indonesia lebih kepada hambatan yang disebabkan oleh faktor sosial, ekonomi dan budaya.
Permasalahan-permasalahan tersebut juga tidak jauh dari adanya faktor stereotip masyarakat yang kuat. meskipun tantangan di Jepang dan Indonesia berangkat dari akar yang berbeda, keduanya pada akhirnya bertemu pada tujuan yang sama yakni mengupayakan solusi yang terbaik untuk permasalahan tersebut.
Sebenarnya Jepang dan Indonesia sama-sama memiliki sejumlah upaya untuk mengurangi ketidaksetaraan gender dan mendorong perempuan agar memiliki kesempatan yang lebih luas, khususnya di bidang pendidikan tersebut.
Seperti di Jepang adanya program-program yang mendorong para perempuan untuk masuk STEM seperti salah satunya program “Girls Meet STEM in Tokyo” Program dari Tokyo Metropolitan Government + Yamada Shintaro D&I Foundation untuk memberi siswi SMP/SMU kesempatan bertemu profesional STEM, kunjungan ke universitas dan perusahaan, supaya mereka bisa melihat langsung bagaimana karier di STEM dan memutuskan jurusan dengan lebih informasional.
Sedangkan di Indonesia sama seperti Jepang adanya program-program seperti Pemerintah Indonesia lewat LPDP menyatakan akan memprioritaskan bidang STEM sebagai salah satu fokus utama penerima beasiswa. Dan Upaya mencegah pernikahan dini lewat edukasi & sosialisasi seperti salah satunya model edukasi berbasis masyarakat di Desa Klampok, Malang, tentang dispensasi kawin atau pernikahan usia anak untuk melindungi pendidikan anak perempuan.

Berdasarkan keseluruhan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa isu gender dalam pendidikan masih menjadi tantangan penting di Jepang maupun Indonesia. Bahwa pendidikan terbukti menjadi kunci utama untuk mewujudkan kesetaraan gender, baik di Jepang maupun Indonesia. ketidaksetaraan gender tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga membatasi potensi untuk pembangunan dan majunya sebuah negara.
Ketika perempuan tidak memiliki akses atau kesempatan yang sama, maka sebagian besar potensi sumber daya manusia ikut terabaikan. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menjadi ruang yang netral, di mana setiap individu bisa berkembang sesuai kemampuannya tanpa dibatasi stereotip gender.
Baik Jepang maupun Indonesia menghadapi tantangan masing-masing dan masih diperlukannya banyak upaya bersama, tidak hanya pemerintah tetapi juga dari sekolah maupun keluarga. Karena dengan berbagai dukungan tersebut dapat menciptakan adanya kesempatan belajar yang benar-benar adil bagi semua gender. Dengan demikian, bukan hanya kesetaraan yang tercapai, tetapi juga lahir generasi yang lebih siap menghadapi tantangan global.