
Uang, bagi banyak orang, bukan sekadar alat tukar. Ia telah menjelma menjadi simbol kekuasaan, ukuran keberhasilan, bahkan penentu harga diri. Dalam masyarakat modern, penghormatan terhadap manusia sering kali diukur dari saldo rekeningnya, bukan dari integritas atau kontribusinya. Fenomena ini bukan hal baru, tapi kini mencapai puncak yang kian mencemaskan.
Filsuf Yunani klasik Aristoteles pernah menegaskan bahwa uang seharusnya hanya menjadi alat, bukan tujuan hidup. Namun dalam kenyataan kini, manusia justru diperbudak oleh uang yang diciptakannya sendiri. Aristoteles menyebut gejala ini sebagai chrematistics—nafsu mencari kekayaan tanpa batas—yang menurutnya merupakan penyimpangan moral karena mengabaikan tujuan etis kehidupan manusia.
Dalam khazanah pemikiran Islam klasik, Ibnu Khaldun menjelaskan dalam Muqaddimah bahwa kekayaan adalah pendorong kemajuan peradaban, namun bila disalahgunakan akan menjadi sumber kehancuran moral dan politik. Negara yang pemimpinnya gila harta, katanya, akan kehilangan legitimasi sosial dan pada akhirnya runtuh oleh kerakusannya sendiri. Kekayaan harus diatur dalam bingkai keadilan, bukan nafsu pribadi.
Dari perspektif Islam, uang bukanlah sumber dosa, melainkan amanah. Al-Quran mengingatkan, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan” (QS. Al-Anfal [8]: 28). Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba sebelum ditanya dari mana hartanya diperoleh dan ke mana dibelanjakan” (HR. Tirmidzi). Artinya, Islam tidak anti terhadap kekayaan, tetapi menolak keserakahan yang mematikan nilai spiritual dan sosial.
Dalam psikologi modern, Abraham Maslow melalui teorinya Hierarchy of Needs menjelaskan bahwa manusia terdorong oleh kebutuhan berjenjang—mulai dari kebutuhan dasar hingga aktualisasi diri. Masalahnya, ketika kebutuhan ekonomi dasar tidak pernah dianggap “cukup,” manusia terjebak dalam lingkaran tak berujung: mencari, menimbun, dan mengukur segala sesuatu dengan uang. Di titik ini, uang tidak lagi memenuhi kebutuhan, tetapi menjadi sumber identitas dan makna hidup yang palsu.
Filsuf dan psikoanalis Erich Fromm melanjutkan kritik ini dengan tajam. Dalam To Have or To Be?, Fromm menyebut masyarakat modern hidup dalam orientasi “memiliki” (having orientation), bukan “menjadi” (being orientation). Manusia kini merasa eksis bukan karena siapa dirinya, melainkan karena apa yang dimilikinya. Akibatnya, uang bukan sekadar alat tukar—ia menjadi ukuran moral, bahkan bentuk baru dari penyembahan.
Fenomena sosial di era digital memperkuat orientasi itu. Media sosial menciptakan panggung baru di mana kekayaan dipertontonkan, dan kemiskinan menjadi bahan olok-olok. Popularitas sering kali ditentukan oleh seberapa glamor seseorang hidup. Maka lahirlah budaya “flexing” — pamer kekayaan yang menumbuhkan rasa iri, rendah diri, dan kesenjangan psikologis di tengah masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, efeknya nyata. Banyak pejabat publik terjerumus ke korupsi bukan karena kekurangan, tetapi karena kerakusan. Mereka memuja uang seolah ia bisa membeli kehormatan, padahal justru mencabutnya. Fenomena ini mencerminkan krisis nilai: jabatan publik menjadi sarana memperkaya diri, bukan mengabdi. Akibatnya, publik kehilangan kepercayaan pada moral pemimpinnya.
Lebih buruk lagi, masyarakat sering ikut memperkuat kultus uang itu. Orang kaya dihormati tanpa mempersoalkan sumber hartanya, sementara orang sederhana dipandang remeh. Budaya konsumtif tumbuh di tengah kesenjangan. Anak muda lebih mengidolakan selebritas kaya ketimbang guru atau ilmuwan. Dalam suasana seperti ini, nilai etika dan kemanusiaan semakin terpinggirkan.
Implikasi negatif dari sikap “menuhankan uang” meluas ke seluruh sendi kehidupan. Ia melahirkan ketamakan yang memicu eksploitasi sumber daya alam, merusak lingkungan, bahkan menumbuhkan kejahatan sistemik seperti pencucian uang dan perdagangan manusia. Dalam tataran spiritual, ia mematikan nurani; manusia kehilangan rasa cukup dan syukur. Dalam tataran sosial, ia menciptakan masyarakat yang kering empati—di mana nilai moral dikorbankan demi status dan gengsi.
Secara global, pemujaan terhadap uang memperdalam jurang ketimpangan. Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya menguasai lebih dari separuh kekayaan dunia. Ketimpangan ini melemahkan solidaritas dan menimbulkan ketegangan sosial. Di Indonesia, jurang ekonomi tampak dari perbedaan mencolok antara elite perkotaan dan masyarakat pedesaan yang terus berjuang sekadar bertahan hidup.
Namun uang sejatinya netral. Ia bisa menjadi sumber kebaikan jika dikelola dengan moralitas. Dalam perspektif sains sosial, uang adalah energi sosial yang bisa menggerakkan roda pembangunan, memperkuat filantropi, dan menumbuhkan kesejahteraan. Dalam perspektif moral dan agama, uang bernilai jika ia membawa manfaat, bukan sekadar menumpuknya. Kekayaan yang berkah adalah kekayaan yang menyejahterakan banyak orang.
Solusinya bukan menolak uang, tetapi menempatkannya secara benar. Pendidikan moral, spiritual, dan literasi finansial harus berjalan beriringan. Anak muda perlu dididik agar memahami bahwa kesuksesan sejati bukanlah memiliki paling banyak, melainkan memberi paling banyak. Uang harus dikembalikan pada fungsinya: alat untuk menebar manfaat, bukan alat untuk menaklukkan manusia lain.
Sebagai bangsa yang berakar pada nilai spiritual, Indonesia sebenarnya memiliki modal besar untuk menolak “penyembahan terhadap uang.” Nilai gotong royong, keadilan sosial, dan ajaran agama yang menekankan keseimbangan antara dunia dan akhirat bisa menjadi pedoman. Di tengah arus materialisme global, bangsa ini perlu menegaskan kembali: uang penting, tapi bukan segalanya.
Pada akhirnya, manusia harus kembali bertanya: apakah kita bekerja untuk hidup, atau hidup untuk bekerja dan mengejar uang? Sebab ketika uang menjadi ukuran tertinggi, maka manusia kehilangan jiwanya. Aristoteles sudah mengingatkan berabad-abad lalu—yang sejati dari manusia bukanlah apa yang ia miliki, melainkan apa yang ia lakukan demi kebaikan bersama.