
Mendapat diagnosis kanker sering kali jadi titik balik hidup bagi perempuan. Bukan cuma karena mereka harus berhadapan dengan serangkaian pengobatan medis yang berat, tapi juga karena munculnya rasa takut, stigma, dan pertanyaan besar, “apakah aku bisa sembuh?“
Di Indonesia, perjuangan perempuan melawan kanker payudara bukan hanya tentang kemoterapi atau operasi. Ada lapisan lain yang sering tak terlihat, soal akses pengobatan yang terbatas, tekanan finansial, hingga kesepian emosional yang datang diam-diam.
Aryanthi Baramuli, ketua sekaligus pendiri Cancer Information and Support System (CISC) tahu betul rasanya. Tahun 2002, ia didiagnosis kanker payudara. Ia mengungkapkan bahwa saat itu ia merasa sendirian, orang tuanya memang sarjana, tapi tidak tahu harus bertindak bagaimana.
Dari pengalaman itulah ia kemudian mendirikan Cancer Information and Support Center (CISC), sebuah komunitas yang kini beranggotakan ribuan penyintas kanker di seluruh Indonesia.
Dua Kisah Nyata Tentang Perjuangan Melawan Kanker Payudara

Bagi Aryanthi, setiap pasien punya cerita, dan tak ada yang mudah. Ia lalu menceritakan kisah Ibu I, seorang perempuan asal Kalimantan Barat yang terdiagnosis kanker payudara HER2-positif pada 2020. Saat itu, belum ada dokter onkologi di provinsinya.
Karena jarak ke Kuching, Malaysia, lebih dekat dan murah, ia memutuskan berobat ke sana. Di tengah pandemi COVID-19, kemoterapi dilakukan dengan dokter umum, sementara obat target terapi harus dikirim lewat udara. Asuransi hanya menanggung 11 kali perawatan, sisanya tujuh kali harus dibayar sendiri.
Lain lagi dengan Ibu H, yang pada 2022 menemukan benjolan di payudaranya. Setelah pemeriksaan MCU, ia harus menunggu tiga bulan untuk bisa konsultasi dengan dokter. Tak sabar menunggu, ia pindah rumah sakit, menjalani operasi, dan divonis kanker payudara stadium 3B.
Belum selesai proses pengobatan, ia justru di-PHK dari pekerjaannya. Beruntung, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menanggung kemoterapi dan radiasi, tapi terapi target yang harus dijalani 18 kali tetap harus ia bayar sendiri. Kisah ini menunjukkan bahwa perjuangan kanker sangat luar biasa, karena bukan cuma melawan penyakitnya, tapi juga melawan sistem dan stigma.
Stigma Masih Jadi Musuh Besar

Untuk sebagian orang, kata kanker masih terdengar seperti vonis mati. Aryanthi sering mendengar cerita pasien yang menolak operasi karena takut kanker akan “menyebar” setelah pisau bedah menyentuh tubuh. Ada juga yang beralih ke pengobatan tradisional karena termakan mitos.
Padahal, kanker payudara bisa diobati kalau ditemukan sejak dini. Tapi stigma membuat banyak orang takut bicara, apalagi kalau menyangkut bagian tubuh yang dianggap tabu.
Selain itu, masih ada rasa malu dan tekanan sosial. Banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan karena izin berobat tak diberikan, atau merasa tak lagi diterima di lingkungan kerja. Stigma ini tentu sangat menyakitkan, sehingga edukasi terkait kanker payudara berperan penting agar pasien tidak merasa bersalah karena sakit.
Kekuatan dan Dukungan Lebih dari Obat

Salah satu kunci bertahan dari kanker adalah rasa tidak sendirian. Saat didiagnosis, wajar kalau seseorang merasa takut, marah, bahkan menyalahkan diri sendiri. Tapi, kalau ada teman yang pernah berada di posisi yang sama, itu bisa jadi penyemangat bagi penyintas untuk terus berjuang melawan penyakitnya.
“Nah, inilah kehadiran dari organisasi pasien untuk bersama-sama, kumpul sesama pasien, untuk saling mengisi, untuk memberikan informasi yang dialami, sehingga pasien-pasien ini tidak takut dalam menghadapi pengobatannya. Karena merasa tidak sendiri, ada temannya, teman berbagi,” ujar Aryanthi.
Lewat CISC, Aryanthi bersama para penyintas lain aktif memberi edukasi dan dukungan emosional bagi pasien baru. Mereka mengadakan pertemuan mingguan, sesi berbagi, hingga kegiatan edukasi di berbagai kota. CISC juga menjalankan program navigasi pasien di beberapa rumah sakit. Program ini membantu pasien menghadapi masalah non-medis seperti transportasi, biaya hidup selama pengobatan, atau kebutuhan alat bantu.