
Setiap tahun, ratusan ribu mahasiswa di Indonesia diwisuda dengan kebanggaan, toga, dan selembar ijazah di tangan. Namun, di balik gegap gempita kelulusan itu, muncul pertanyaan yang semakin sering terdengar: apakah pendidikan kita benar-benar menghasilkan kompetensi, atau sekadar mencetak ijazah?
Fenomena komersialisasi pendidikan dan maraknya jual-beli gelar menunjukkan bahwa pendidikan kini kian terjebak dalam mentalitas “pabrik ijazah” — cepat lulus, dapat gelar, tanpa proses bermakna.
Pendidikan, yang seharusnya menjadi sarana pembentukan karakter dan peningkatan kualitas manusia, kini perlahan berubah menjadi industri yang berorientasi pada keuntungan. Ijazah tidak lagi dipandang sebagai simbol kompetensi, melainkan tiket untuk memperoleh status sosial atau pekerjaan.
Di berbagai jenjang, muncul lembaga yang menjanjikan kemudahan lulus, program instan, hingga jual-beli ijazah palsu secara daring. Fenomena ini mencerminkan krisis nilai dalam dunia pendidikan: proses belajar digantikan oleh transaksi, dan pengetahuan tergantikan oleh formalitas administratif.
Akibatnya, masyarakat sering kali lebih menghargai gelar daripada kemampuan. Banyak perusahaan masih menilai calon pekerja berdasarkan ijazah, bukan keterampilan atau etos kerja. Pendidikan pun kehilangan makna sejatinya — bukan lagi jalan menuju pencerahan, melainkan alat untuk mengejar pengakuan semu.
Pendidikan Tanpa Jiwa
Kualitas pendidikan tidak bisa diukur dari banyaknya lulusan, tetapi dari kemampuan mereka dalam berpikir kritis, berinovasi, dan berkontribusi bagi masyarakat.
Sayangnya, banyak perguruan tinggi yang terjebak dalam orientasi administratif: sibuk mengejar akreditasi, target publikasi, dan jumlah mahasiswa, namun melupakan substansi pembelajaran.
Dosen dibebani laporan administratif, mahasiswa dikejar target lulus tepat waktu, sementara proses dialog dan eksplorasi pengetahuan kian menipis. Pendidikan berubah menjadi rutinitas mekanis — hadir, mengisi absen, mengerjakan tugas, lalu menunggu nilai.
Padahal, pendidikan sejati menuntut ruang refleksi, kebebasan berpikir, dan dorongan untuk bertanya “mengapa”, bukan sekadar “apa”.
Masalah “pabrik ijazah” bukan semata kesalahan lembaga pendidikan, tetapi juga akibat sistem yang menilai kesuksesan pendidikan secara dangkal. Pemerintah sering kali menilai kinerja perguruan tinggi dari jumlah lulusan, bukan kualitas lulusannya. Sementara dunia kerja masih bergantung pada sertifikat formal tanpa memperhatikan kompetensi riil.
Selain itu, rendahnya literasi masyarakat juga turut memperparah keadaan. Banyak orang tua masih menganggap gelar sarjana sebagai ukuran kesuksesan, bukan kemampuan untuk berpikir mandiri. Akibatnya, universitas dan sekolah berlomba “memuaskan pasar” alih-alih memperjuangkan mutu.
Menuju Pendidikan yang Bermakna
Sudah saatnya Indonesia keluar dari jebakan sistem pendidikan berbasis ijazah. Perguruan tinggi dan sekolah harus mengembalikan esensi pendidikan sebagai proses pembentukan karakter, bukan sekadar produksi gelar. Pendidikan perlu diarahkan kembali pada nilai-nilai kejujuran, kompetensi, dan tanggung jawab sosial.
Pemerintah juga harus memperkuat pengawasan terhadap praktik jual-beli ijazah serta meningkatkan standar mutu pendidikan secara menyeluruh. Dunia kerja pun perlu mengubah paradigma rekrutmen dengan menilai keterampilan, kreativitas, dan integritas, bukan hanya selembar kertas bertuliskan “sarjana”.
Indonesia tidak akan maju hanya dengan mencetak ribuan lulusan setiap tahun, jika para lulusan itu tidak benar-benar siap menghadapi tantangan dunia nyata. Ijazah hanyalah simbol; yang menentukan masa depan adalah isi kepala dan integritas pemiliknya.
Pendidikan sejati bukan tentang seberapa cepat lulus, melainkan seberapa dalam seseorang memahami makna belajar. Selama ijazah masih dijadikan tujuan, bukan hasil dari proses, selama itu pula pendidikan kita akan tetap menjadi pabrik — pabrik ijazah tanpa ilmu.