
Di tengah riuh rendah lorong Blok B Tanah Abang, Ismed yang nerupakan pedagang kain siap tenun menatap kosong gulungan kain polos di depan tokonya. Ia sudah 20 tahun berdagang. Dahulu, menjelang Ramadan, antrean pembeli bisa memanjang sampai depan eskalator. Kini, pesanan turun drastis. “Orang lebih banyak beli yang sudah jadi di online,” katanya lirih. Kain yang dahulu dia beli dari pabrik tekstil di Majalaya, saat ini sudah jarang tersedia. “Pabriknya banyak tutup. Sekarang kainnya impor semua,” tambahnya, sembari menggulung sisa stok yang makin menipis.
Nasib Ismed adalah potret mini dari tragedi besar yang sedang menimpa industri fesyen muslim Indonesia — sebuah paradoks Icarus. Seperti Icarus dalam mitologi Yunani yang terbang tinggi dengan sayap lilin, kita pun punya “dua sayap” luar biasa: kreativitas desainer yang diakui dunia dan pasar domestik senilai Rp289 triliun, sebagaimana disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Namun, terbuai oleh kekuatan itu, kita terbang terlalu tinggi mendekati “matahari” globalisasi tanpa menyadari bahwa sayap kita terbuat dari lilin yang rapuh dikarenakan negara kita terbuai dengan ketergantungan impor.
Daya Beli Tanpa Daya Produksi

Kenyataan pahit itu diungkap langsung Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. Dari total pasar fesyen muslim senilai Rp289 triliun, 99% dikuasai produk impor, terutama dari Tiongkok. Angka tersebut bukan sekadar statistik. Angka yang muncul merupakan peringatan bahwa kita sudah kehilangan kendali atas pasar sendiri. Padahal, Indonesia sudah memiliki potensi menjadi pusat mode muslim dunia. Desainer seperti Dian Pelangi pernah membanggakan Indonesia di panggung internasional, membawa semangat modest fashion yang modern dan berkarakter lokal.
Begitu pula Jenahara Nasution, dengan brand Jenahara yang berusaha menggabungkan kesederhanaan dan kekuatan karakter wanita muslim Indonesia dalam setiap potong busana. Namun, hasil buah karya mereka tersebut, masih berjuang sendirian di tengah banjir produk murah yang datang setiap hari dari negeri seberang.
Sedangkan kondisi saat ini yang terjadi di belakang layar, realitasnya lebih getir. Sekitar 60–70% bahan baku tekstil kita masih diimpor, terutama benang, serat sintetis dan kain jadi dari Tiongkok dan Korea Selatan. Akibatnya, bahkan ketika produk akhir yang dijahit di Indonesia, rantai nilainya tetap mengalir ke luar negeri. Kita sekadar menjadi “tukang jahit global” yang menambahkan label lokal pada bahan impor.
Benturan di Ekonomi Model Bentuk-K

Kondisi ini menimbulkan ekonomi bentuk-K di sektor fesyen. Di “garis atas K”, importir dan pemilik platform e-commerce menikmati keuntungan besar dari pasar triliunan rupiah. Mereka bisa menjual produk impor dengan margin tipis tapi volume raksasa.
Sementara di “garis bawah K”, jutaan penjahit rumahan, perajin busana muslim dan pedagang kain seperti Ismed di Tanah Abang jatuh bebas hanya untuk memperebutkan sisa 1% pasar di tanah airnya sendiri. Ironinya, di saat pemerintah menggelorakan kampanye “Bangga Buatan Indonesia”, sebagian besar produk yang kita banggakan itu justru diproduksi di pabrik luar negeri.
Kita terjebak dalam ilusi kemandirian: seolah-olah ekonomi kreatif sudah berdikari, padahal fondasi industrinya lapuk oleh ketergantungan impor. Paradoks ini adalah wajah baru Icarus yang terlihat bukan karena kekurangan ambisi, tetapi karena kelebihan euforia tanpa industrialisasi.
Bercermin dari Langit Eropa
Namun, di tengah kejatuhan itu, secercah peluang muncul dari barat. Kesepakatan IEU-CEPA (Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) yang baru saja mencapai tahap finalisasi membuka peluang baru bagi ekspor produk fesyen muslim Indonesia ke Eropa. Pasar Eropa memiliki segmen besar untuk modest fashion, terutama di Prancis, Jerman dan Belanda yang memiliki komunitas muslim migran signifikan. Tapi, perjanjian dagang ini akan sia-sia apabila kita belum menambal “sayap lilin” yang rapuh di dalam negeri.
Ekspor hanya bisa dilakukan oleh negara yang kuat di dalam dan efisien di luar. Artinya, IEU-CEPA baru akan menguntungkan Indonesia jika dan hanya diiringi dengan strategi substitusi impor, industrialisasi hulu dan perlindungan manufaktur kecil hingga menengah. Tanpa hal itu, kita hanya akan menjadi penonton dari etalase global dan lagi-lagi hanya akan terpesona oleh sinar matahari yang sama.
Menjahit Kembali Sayap yang Patah
Kini, pertanyaan kita bukan lagi terbatas dalam hal apakah Indonesia punya potensi. Potensi sudah jelas ada dan hasilnya nyata, membuat bangga generasi penerus bangsa serta bisa membuka lapangan pekerjaan baru yang akan mengoptimalkan bonus demografi. Hal yang kita butuhkan adalah kemauan politik dan keberanian industri untuk menjahit kembali sayap yang patah untuk bangkit dari keterpurukan. Kita perlu membangun Benteng Domestik dengan memperkuat pabrik tekstil nasional, memberi insentif bagi produsen lokal dan menutup kebocoran impor ilegal yang menenggelamkan pasar rakyat.
Kisah Icarus selalu berakhir tragis karena ia tak mendengarkan peringatan. Tapi kisah kita belum harus berakhir demikian. Masih ada waktu untuk belajar dari jatuhnya usaha Ismed, dari perjuangan Dian Pelangi dan Jenahara, dari 99% pasar yang hilang dan dari peluang yang terbuka di langit Eropa. Kita hanya perlu satu hal, yaitu keberanian untuk tidak terbang dengan sayap lilin lagi.