BerandaBacalah! Menghidupkan Literasi di...

Bacalah! Menghidupkan Literasi di Era Media Sosial

Buku menjadi kehilangan daya tariknya di era media sosial saat ini. Photo: MarieXMartin, Pixabay.com
Buku menjadi kehilangan daya tariknya di era media sosial saat ini. Photo: MarieXMartin, Pixabay.com

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1)

Ayat tersebut menjadi kalimat pertama yang disampaikan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Kita mafhum, pada saat itu Nabi Muhammad adalah seorang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun justru itulah keistimewaannya. Allah memulai risalah Islam dengan perintah sederhana: “Iqra” (Bacalah!). Bukan sekadar ajakan mengeja huruf atau memahami teks. Ia adalah panggilan universal untuk mengaktifkan kesadaran, membuka wawasan, dan memahami makna kehidupan.

Menariknya Allah tidak memerintahkan “belajarlah membaca,” karena manusia sejatinya telah dibekali potensi dan akal untuk melaksanakan perintah itu. Artinya, setiap manusia memiliki kemampuan dasar untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Asalkan mau menggunakan akalnya.

Namun pemaknaan perintah sederhana itu tergantung pada siapa diri kita. Jika berpikir sempit, maka hanya berhenti di kalimat, “Saya kan tidak bisa membaca, kok disuruh baca.” Sebaliknya, jika berpikir lebih dalam akan langsung berusaha mencari cara untuk mampu membaca. Karena membaca bukan sekadar mengenal huruf, tapi mengenal kehidupan.

Literasi sebagai Kunci Kehidupan

Indonesia sering disebut sebagai negara dengan tingkat literasi rendah. Padahal literasi bukan hanya sekadar membaca teks, melainkan juga membaca situasi, membaca masalah, dan membaca tanda-tanda zaman. Literasi adalah kemampuan berpikir kritis dan kemampuan menafsirkan realitas agar tidak terjebak dalam arus informasi yang salah.

Tanpa tradisi membaca, sulit bagi kita untuk melahirkan solusi yang bijak. Akibatnya, masyarakat lebih mudah mengkritik, menghujat, atau menyalahkan, ketimbang memaknai persoalan secara mendalam.

Ketika literasi tumbuh, masyarakat menjadi lebih bijak dalam bersikap. Mereka mampu memilah mana yang fakta dan mana yang opini, mana yang membangun dan mana yang menyesatkan. Orang yang literat tidak akan cepat bereaksi, tetapi akan terlebih dahulu memahami konteks sebelum berkomentar atau bertindak. Masyarakat yang gemar membaca akan tumbuh menjadi bangsa yang kuat dan beradab.

Lebih jauh lagi, literasi menjadi kunci utama untuk menghindari perpecahan dan salah paham. Dalam konteks sosial dan politik, literasi membantu kita memahami bahwa tidak semua perbedaan pandangan harus dihadapi dengan pertengkaran. Dengan literasi seseorang akan mampu melihat berbagai sisi dari satu masalah, menimbang data dan fakta sebelum menarik kesimpulan. Di sinilah letak kekuatan membaca, bukan sekadar membuka buku, tetapi membuka cara pandang baru terhadap kehidupan.

Media Sosial Menjadi Ruang Kritik Tanpa Solusi

Mari kita tengok realitas masyarakat hari ini. Kita hidup di era media sosial, hampir setiap isu publik menjadi bahan perdebatan panjang. Dari politik, ekonomi, pendidikan, sampai olahraga, semua ramai dibicarakan. Sayangnya, diskusi lebih sering berubah menjadi ajang hujatan, kritik tanpa solusi, atau sekadar keluhan. Tidak sedikit yang bahkan menikmati kesalahan orang lain, seolah-olah itu adalah hiburan. Ini adalah bentuk nyata krisis literasi digital.

Ironisnya, banyak komentar tajam justru keluar dari mereka yang tidak memahami duduk persoalan sebenarnya. Mereka membaca sepenggal informasi, langsung beropini dan menyebarkannya tanpa verifikasi. Akibatnya, ruang publik kita dipenuhi oleh kebisingan, bukan kebijaksanaan.

Inilah dampak rendahnya literasi. Sikap mudah bereaksi tanpa membaca secara utuh, mencerminkan betapa dangkalnya kesadaran berpikir di dunia digital. Kita terbiasa menarik kesimpulan hanya dari judul berita bukan isi, dari caption singkat atau potongan video bukan keseluruhan konteks. Tanpa membaca utuh, kita mudah terjebak hoaks, tersulut emosi, dan gagal memberi kontribusi positif. Padahal, di balik setiap peristiwa selalu ada sisi yang tidak terlihat.

Era media sosial, orang menghabiskan banyak waktu untuk berinteraksi melalui layar sentuh. Photo: MarieXMartin, Pixabay.com
Era media sosial, orang menghabiskan banyak waktu untuk berinteraksi melalui layar sentuh. Photo: MarieXMartin, Pixabay.com

Lebih dari itu, media sosial seharusnya menjadi ruang dialog, bukan arena pertempuran ego. Dengan literasi digital yang baik, kita bisa menggunakan platform ini untuk berbagi gagasan, memperluas wawasan, dan memperkuat solidaritas sosial. Untuk sampai ke sana dibutuhkan kesadaran kolektif untuk tidak berhenti pada kritik, melainkan bergerak menuju solusi. Karena bangsa besar bukanlah bangsa yang pandai mencela, tetapi bangsa yang mau belajar dan berbenah.

Membaca Realitas dengan Bijak

Membaca bukan hanya aktivitas akademik. Membaca juga berarti memahami realitas di sekitar kita. Petani akan membaca tanda-tanda cuaca sebelum menanam. Pedagang akan membaca tren pasar sebelum menentukan harga. Pemimpin bijak akan membaca kondisi masyarakat sebelum mengambil keputusan.

Namun di era media sosial, kita lebih suka membaca potongan, bukan keseluruhan. Kita hanya membaca sebagian, lalu cepat-cepat menarik kesimpulan. Padahal, untuk menemukan solusi, kita harus membaca secara menyeluruh.

Contoh sederhana misalnya masalah banjir. Jika hanya berhenti pada keluhan, musibah akan terulang setiap tahun. Tapi jika membaca akar masalahnya, seperti kerusakan lingkungan, drainase buruk, tata ruang yang salah, maka solusi bisa ditemukan.

Selain itu, membaca juga merupakan aktivitas spiritual. Ketika kita membaca alam, membaca kejadian, membaca tanda-tanda kehidupan, kita sedang berdialog dengan kebesaran Tuhan. Membaca adalah cara manusia memahami dirinya sendiri, lingkungannya, dan Penciptanya.

Setiap perintah Tuhan mengandung pesan pembelajaran. Maka ketika kita menghadapi kesulitan, bisa jadi itu adalah “teks kehidupan” yang sedang menunggu untuk dibaca. Sayangnya, banyak yang berhenti pada keluhan, bukan pada pemahaman. padahal setiap ujian selalu membawa hikmah, sebagaimana setiap tulisan membawa makna bagi pembacanya.

Perintah “Bacalah” adalah perintah untuk selalu mencari pemahaman mendalam. Dari membaca lahir ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan lahir solusi.

Kita bisa lihat pada kasus naiknya harga cabai. Reaksi publik di media sosial biasanya penuh keluhan dan menyalahkan pemerintah atau pedagang. Padahal jika dibaca lebih dalam, penyebabnya ada di distribusi, pasokan, dan infrastruktur. Solusi jangka panjang bisa berupa gudang pendingin (cool storage), manajemen distribusi, dan edukasi konsumen.

Rendahnya literasi juga membuat masyarakat rentah terjebak hoaks. Judul bombastis langsung dipercaya tanpa dicek. Kalimat provokatif langsung disebar tanpa dipahami. Inilah ancaman serius bagi bangsa.

Maka, membangun budaya membaca harus menjadi prioritas. Tidak hanya membaca buku, tapi juga membaca data, membaca kebijakan, dan membaca arah zaman. Literasi digital juga penting, agar masyarakat tidak mudah terjebak arus informasi yang menyesatkan.

Perintah “Bacalah!” dalam QS. Al-‘Alaq adalah panggilan abadi bagi umat manusia. Bacalah bukan sekadar perintah membaca buku, tetapi membaca realitas, membaca tanda, membaca kehidupan.

Di tengah derasnya arus media sosial, mari kita tingkatkan literasi. Jangan hanya sibuk mengkritik tanpa solusi. Jangan terjebak pada kesalahan kecil. Fokuslah pada tujuan besar.

Dengan membaca secara mendalam, kita bisa menemukan arah, menghindari kesalahan, dan menemukan solusi. Itulah makna sejati dari perintah “Bacalah!” 1400 tahun silam yang masih relevan hingga hari ini.

Maka, “Bacalah!” bukan sekedar huruf di halaman, tapi juga pesan di balik setiap peristiwa. Karena dari membaca, kita belajar berpikir. Dari berpikir, kita belajar memahami. Dan dari memahami, kita menemukan jalan menuju kebijaksanaan.

Fokus pada Tujuan, Bukan Kesalahan Kecil

Mari kita akhiri dengan ilustrasi sederhana. Bayangkan saat berjalan kita menemukan papan penunjuk arah bertuliskan “Bleok Knan.” Jelas salah tulis, seharusnya “Belok Kanan”).

Orang yang berpikir dangkal akan sibuk mempersoalkan salah tulisannya. Ia mungkin memotret, mengunggah ke media sosial, lalu menertawakan. Tapi ia tetap bingung, tidak sampai tujuan.

Sebaliknya, orang yang melek literasi akan langsung memahami maksudnya. Ia langsung belok kanan, sampai lebih cepat, tanpa membuang waktu. Ia tidak terjebak pada kesalahan-kesalahan kecil, sibuk menghujat, tanpa bergerak maju.

Inilah makna literasi. Membaca bukan hanya mengeja kata, tapi memahami arah, lalu bertindak untuk sampai pada tujuan. Karena pada akhirnya, keberhasilan tidak ditentukan seberapa sering kita mengkritik, melainkan seberapa cepat kita memahami makna dan mengambil langkah.

- A word from our sponsors -

spot_img

Most Popular

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More from Author

Bahlil: Lifting Minyak RI Capai 607 Ribu Barel/Hari, Lampaui Target APBN 2025

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan capaian...

Menperin Agus Akan Wajibkan Kawasan Industri-Pabrik Lapor Hasil Paparan Radiasi

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita akan menyiapkan regulasi baru yang...

Kanvas Budaya, Ketika Fashion Bertemu Pemberdayaan Pendidikan

Industri high fashion yang diisi oleh para desainer berbakat dikenal akan...

Nasi Megono dan Lopis Krapyak Pekalongan Diterapkan Sebagai Warisan Budaya Takbenda

Nasi Megono dan Lopis Krapyak ditetapkan sebagai WBTB pada 8 Oktober...

- A word from our sponsors -

spot_img

Read Now

Bahlil: Lifting Minyak RI Capai 607 Ribu Barel/Hari, Lampaui Target APBN 2025

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan capaian lifting minyak bumi nasional sudah melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 per awal Oktober 2025. Dalam APBN 2025, lifting minyak nasional ditargetkan mencapai 605 ribu barel per hari (bopd). Bahlil menyebutkan berdasarkan laporan Kepala...

Menperin Agus Akan Wajibkan Kawasan Industri-Pabrik Lapor Hasil Paparan Radiasi

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita akan menyiapkan regulasi baru yang mewajibkan kawasan industri dan pabrik di seluruh Indonesia untuk melakukan pelaporan hasil survei Radiation Portal Monitoring (RPM). Ini menjadi bagian dari upaya memperkuat pengawasan keamanan industri pasca temuan unsur radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande, Banten. “Kami...

Kanvas Budaya, Ketika Fashion Bertemu Pemberdayaan Pendidikan

Industri high fashion yang diisi oleh para desainer berbakat dikenal akan prestisenya. Namun, apa jadinya jika dunia fashion bertemu dengan pemberdayaan pendidikan? Kolaborasi dua dunia inilah yang berusaha diwujudkan oleh Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) atau Indonesian Fashion Designer Council (IFDC) dengan menggandeng Andien Aisyah Foundation lewat...

Nasi Megono dan Lopis Krapyak Pekalongan Diterapkan Sebagai Warisan Budaya Takbenda

Nasi Megono dan Lopis Krapyak ditetapkan sebagai WBTB pada 8 Oktober 2025 lalu.

‘Habib Gadungan’ Curi Sarung Santri di Bogor Diduga Alami Gangguan Kejiwaan

Polisi mengungkap Heru, pria yang mengaku habib dan mencuri sarung santri di Bogor ternyata mengalami gangguan kejiwaan. Heru kini dikembalikan ke keluarga.

Komjen Suyudi Buka Diklat P3K BNN, Ingatkan Komitmen Layani Masyarakat

Kepala BNN Komjen Suyudi Ario Seto membuka diklat P3K BNN untuk memperkuat misi pemberantasan narkoba.

Polisi Kejar Pencuri Harley di Mal Jakpus Meski Moge Sudah Ditemukan

Polisi menemukan Harley Davidson yang sempat dicuri saat parkir di sebuah mal kawasan Senayan, Jakarta Pusat (Jakpus). Pelaku pencurian kini dikejar Polisi.

Telantarkan Istri Sakit hingga Tewas, Pria di Sumsel Dituntut Hukuman Mati

JPU dari Kejari Palembang menuntut terdakwa bernama Wahyu Saputra agar dihukum mati. Wahyu Dinilai sengaja menelantarkan istrinya meninggal dunia.

Cak Imin Ungkap Arahan Prabowo Buat Semua Ponpes di RI Imbas Al-Khoziny Ambruk

Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin membeberkan arah Presiden Prabowo Subianto atas peristiwa ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo. 67 santri wafat akibat tragedi ini. Menurutnya, ada tiga arahan khusus yang diberikan Prabowo. Pertama, keselamatan dan kenyamanan pendidikan anak-anak didik terutama...

SMK Negeri Peternakan Lembang Dapat Bantuan Penunjang Program Revitalisasi Satuan Pendidikan

SMK Negeri Peternakan Lembang mendapatkan bantuan penunjang untuk membangun ruang perpustakaan, bimbingan konseling (BK), usaha kesehatan sekolah (UKS), dan toilet. 

Ketua Yayasan di Pangandaran Jadi Tersangka Kasus Penelantaran ODGJ hingga Tewas

Polisi menetapkan Ketua sekaligus Penanggung Jawab Yayasan Himatera, Dede Adriansyah, sebagai tersangka dalam kasus dugaan penelantaran pasien orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) hingga meninggal dunia. Korban bernama Muhammad Ilham, yang sebelumnya menjalani perawatan di yayasan tersebut. “Penyidik telah menetapkan satu orang tersangka, yaitu Dede A. Adriansyah,” kata Kapolres Pangandaran...

Cak Imin: Renovasi Ponpes Al Khoziny Layak Dibantu APBN

Menko Pemberdayaan Masyarakat (PM) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengungkap renovasi pondok pesantren (ponpes) Al Khoziny yang ambruk di Sidoarjo layak dibantu APBN. Hal ini karena jumlah santri di sana menurutnya lumayan banyak. Sebelumnya, pemerintah bakal mengaudit dan memperbaiki bangunan pondok pesantren yang dinilai rawan. Dana untuk mengaudit...