
MANADO – Seniman di Sulawesi Utara (Sulut), ramai-ramai menolak rencana Taman Budaya dialihfungsikan. Menjadi satu-satunya tempat pementasan seni usai Gedung Kesenian Pingkan Matindas yang juga dialihfungsikan, kini Taman Budaya diisukan akan dirobohkan dan diganti menjadi SPBU.
Sesuai rilis yang diterima, isu jika Taman Budaya akan beralihfungsi menjadi SPBU bukanlah isapan jempol, setelah pada 1 Oktober 2025, sejumlah ASN dari BKAD Sulut terlihat mengukur lahan dan bangunan di kawasan Taman Budaya.
“Taman Budaya Sulut bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah simbol peradaban, tempat bernaungnya kreativitas, dan rumah spiritual para seniman,” ujar Aldes Sambalao, perupa teater sekaligus koordinator aksi Gerakan Seniman Sulut (GEMAS), dalam rilisnya.
Menurut Aldes, para seniman menuntut bukan sekadar ruang, tapi juga keadilan kultural, di mana mereka meminta pemerintah menghentikan marginalisasi terhadap seni dan mengembalikan fungsi Taman Budaya dan Gedung Kesenian Pingkan Matindas sebagai rumah bersama penciptaan karya dan penguatan jati diri daerah.
Dijelaskan Aldes, ratusan pelaku seni di Sulut sudah menyatakan siap turun ke jalan di Manado pada pekan ketiga Oktober 2025, untuk menentang rencana pengalihfungsian Taman Budaya Sulut menjadi SPBU. Bahkan, sepekan ini Tagar #KebudayaanMemanggil telah menghiasi media sosial, sebagai tanda dan seruan kepada masyarakat untuk bangkit menyuarakan penolakan terhadap keputusan yang dianggap mencederai martabat seni dan budaya Sulut.
“Gerakan ini tidak sekadar reaksi emosional, melainkan ledakan akumulasi kekecewaan panjang para seniman terhadap minimnya perhatian pemerintah terhadap sektor budaya. Ini sudah di titik nadir. Taman Budaya adalah rumah kami. Sekarang, rumah itu hendak dihancurkan demi SPBU? Kami tidak tinggal diam!” kata Aldes.
Aldes mengatakan, gerakan ini sendiri akan menjadi pertemuan besar berbagai elemen kebudayaan mulai dari seniman teater, perupa, budayawan, penulis, hingga akademisi. Tercatat lebih dari 34 simpul kesenian dan budaya telah menyatakan bergabung untuk menyampaikan sikap.
Beberapa di antaranya adalah Asosiasi Seni Tradisional Daerah Sulut (ASTD), Wale Teater, Sanggar Kreatif, Komunitas Torang, Forum Perupa Sulut, Dewan Adat Talaud, Sanggar Seriwang-Sangihe, Aliansi Kabasaran Seluruh Indonesia (AKSI), Pusat Kajian Komunitas Adat dan Budaya Bahari, Sanggar Seni Kitawaya, Sanggar Seni Manguni Wenang Kauneran, Sanggar Karangmantra, Sanggar Budaya Matambor, Sanggar Seni Senggighilang, Sanggar Seni Kalamatra, Asosiasi Seni Tari Sulut dan Teater Monibi.
Juga, Persatuan Maengket dan Masamper Sulut, Batoe Toelis Kreatif, Kavirsigers Squad, Sanggar Tangkasi Bitung, Komunitas Budaya Tionghoa Sulut, ISBIMA, Teater Club Manado, Sanggar Seni Ma’sani Tomohon dan Teater Roda. Termasuk pula Center for Alternative Policy, Komunitas Mapatik, TamangBae Lingkungan dan Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR).
“Kami bergerak karena kami melihat ini sebagau musibah kebudayaan, yang menggambarkan bagaimana budaya dipinggirkan dalam pusaran kepentingan ekonomi,” ujar Aldes.
“Taman Budaya Sulut bukan hanya tempat pentas. Ia adalah simbol jati diri, tempat kontemplasi, laboratorium kreativitas, dan ruang temu lintas generasi seniman. Kalau ini dikorbankan, kita sedang menghapus jejak peradaban kita sendiri,” tutur Alfred Pontolondo, perupa lukis menambahkan.
Taman Budaya Sulut diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Fuad Hasan pada 8 Januari 1987. Tempat ini telah menjadi titik temu berbagai disiplin seni dari tari, musik, rupa hingga teater. Puncak kejayaannya terjadi pada tahun 2016 ketika menjadi tuan rumah Temu Taman Budaya se-Indonesia.
Sayangnya, setahun setelah itu, atau sejak 2017, tempat ini justru terabaikan dan nyaris tak berfungsi lagi. Ini dimulai dengan pembentukan Dinas Kebudayaan Sulut pada tahun 2017, yang akhirnya menandai penurunan status Taman Budaya dari UPTD menjadi seksi kecil.
Pemindahan personel yang awalnya bekerja di Taman Budaya ke Museum Negeri, serta penghentian kegiatan menyebabkan kawasan ini terlantar, rusak, dan tak terawat.
“Jika seni dan budaya tak lagi diberi ruang, kita sedang membiarkan roh masyarakat ini tercerabut. Tanpa budaya, kita bukan siapa-siapa,” kata seniman senior, Jhon Piet Sondakh dikutip dari rilis.
Adapun aksi demo turun ke jalan para seniman ini, akan mengusung tuntutan besar: “Taman Budaya Rumah Kami, Kembalikan!”, di mana mereka akan langsung menyampaikannya kepada Gubernur Sulut, Yulius Selvanus, serta ke lembaga DPRD Sulut.
“Kita bukan anti pembangunan, tapi menolak pembangunan yang membunuh kebudayaan. SPBU bisa dibangun di mana saja. Tapi Taman Budaya hanya satu, dan itu tak tergantikan,” ujar Aldes kembali.