
Pada dasarnya, setiap manusia pasti punya masalah. Bahkan, orang yang menganggap dirinya tidak punya masalah justru sedang memiliki masalah yang paling mendasar: yaitu hilangnya kesadaran yang menjadi syarat mutlak seseorang dikatakan sebagai manusia.
Aktivitas berpikir kita sendiri seringkali adalah bentuk dari usaha untuk memecahkan suatu masalah. Individu yang dianggap tidak menggunakan pikirannya, pada hakikatnya telah menyia-nyiakan anugerah akalnya. Namun, esensi menjadi manusia bukanlah sekadar bahwa kita telah berpikir dan punya masalah, karena kedua hal itu adalah sesuatu yang pasti dan sudah melekat pada diri kita.
Yang membedakan kualitas seorang manusia justru terletak pada cara dia berpikir dan jenis masalah yang dia pilih untuk diperhatikan. Apakah nalarnya logis dan jernih? Apakah masalah yang menyibukannya benar-benar penting dan bermakna?
Setiap manusia memang memikirkan masalah, namun tidak setiap manusia memikirkan masalah yang sama. Sebab, tidak semua manusia mempunyai kerangka nilai yang sama dalam menilai apa yang pantas dipermasalahkan. Ada masalah-masalah mendasar tentang keadilan dan kemanusiaan yang dipikirkan secara mendalam oleh segelintir orang, sementara banyak orang lain sibuk mempersoalkan hal-hal remeh yang tidak substansial.
Ada masalah yang dipikirkan dengan sungguh-sungguh. Ada masalah yang dibiarkan mengambang. Ada manusia yang dengan bijak tidak mempermasalahkan hal-hal sepele, namun ada pula manusia yang menghabiskan hidupnya mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya bukan masalah.
Manusia, pada akhirnya adalah apa yang dipikirkannya. Yang dipikirkannya, adalah cerminan dari apa yang dimasalahkannya. Yang dimasalahkannya, itulah yang mengisi kegalauannya. Maka manusia, sesungguhnya adalah apa yang digalaukannya. Kualitas seorang manusia dapat diukur dari kualitas masalah yang ia galaukan. Apakah ia digelisahkan oleh persoalan-persoalan mendasar kemanusiaan, ataukah ia hanya disibukkan oleh hal-hal yang bersifat tak esensial?
Seperti kata Rumi, “Engkau adalah kegalauanmu”. Jika yang kau galaukan adalah keindahan, cara-cara menebar kebaikan, dan kebijaksanaan, maka engkau adalah taman berbunga yang menyebarkan keharuman. Namun, jika yang kau galaukan adalah keburukan, kedengkian, dan hal-hal negatif lainnya, maka engkau adalah taman berduri yang hanya akan melukai siapa saja bila mendekat.
Dari sini, kita belajar bahwa kita punya kendali untuk memilih. Kita bisa memilih untuk mempermasalahkan hal-hal yang sifatnya membangun, atau terjerumus dalam mempersoalkan hal-hal yang destruktif. Pilihan ini bukan sekadar masalah selera, melainkan penentu kualitas eksistensi kita. Manusia yang memilih untuk mempermasalahkan ketidakadilan sosial, kelestarian lingkungan, atau pencarian kebenaran, akan mengarahkan energinya pada sesuatu yang meaningful. Sebaliknya, manusia yang menghabiskan waktunya mempersoalkan hal-hal remeh sedang menyia-nyiakan potensi kemanusiaannya.
Mengutip kalimat dari Dr. Riza Arief Putranto, seorang saintis biologi molekuler asal Indonesia, “Menghadapi rasa takut itu sulit, lari darinya juga sulit. Olahraga itu sulit, sakit pun sulit. Memaafkan itu sulit, mendendam pun sulit. Maka, pilihlah sulitmu, sebab memilih pun sulit, diam pun sulit. Front Psychiatry2024 ‘Resilience after adversity: an umbrella review’ menunjukkan sifat tangguh (resilience) tumbuh setelah kesulitan (adversity)”.
Dengan demikian, transformasi diri dimulai dari transformasi dalam memilih apa yang patut kita permasalahkan. Ketika kita mengubah fokus masalah kita, kita sebenarnya mengubah diri kita sendiri. Kualitas hidup kita sangat ditentukan oleh menu masalah apa yang kita pilih untuk disantap setiap hari. Dengan lebih berhati-hati memilih apa yang kita permasalahkan, kita sebenarnya sedang mendesain jalan hidup dan kedamaian pikiran esok hari, semoga.