
Fenomena meningkatnya jumlah lulusan sarjana yang kembali ke kampung halaman tanpa memperoleh pekerjaan tetap kini menjadi pemandangan umum di Manggarai. Banyak di antara mereka yang pulang membawa ijazah, tetapi belum memiliki ruang aktualisasi di dunia kerja. Sebagian memilih merantau ke kota besar, sementara lainnya bertahan dengan pekerjaan serabutan di sektor informal. Kondisi ini menggambarkan satu persoalan mendasar: dunia pendidikan di daerah belum sepenuhnya terhubung dengan kebutuhan pasar kerja.
Situasi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan atau mismatch antara kualifikasi pendidikan dan permintaan tenaga kerja di tingkat lokal. Lulusan perguruan tinggi memiliki pengetahuan teoretis yang cukup, tetapi tidak selalu sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja di Manggarai. Di sisi lain, sektor-sektor potensial seperti pertanian, pariwisata, dan ekonomi kreatif justru kekurangan sumber daya manusia yang terampil dan inovatif.
Masalah ini tidak hanya berkaitan dengan terbatasnya lapangan pekerjaan, melainkan juga menyangkut arah dan relevansi sistem pendidikan yang belum berakar pada konteks sosial-ekonomi daerah. Sekolah dan perguruan tinggi masih cenderung menekankan aspek kognitif dan pencapaian akademik, sementara dimensi keterampilan praktis serta karakter kewirausahaan kurang mendapat perhatian. Akibatnya, pendidikan berjalan pada jalurnya sendiri, terpisah dari dinamika dunia kerja yang terus berubah.
Akar Permasalahan
Salah satu akar utama dari mismatch tersebut adalah orientasi pendidikan yang masih berpusat pada gelar, bukan pada kompetensi. Pandangan masyarakat yang menempatkan ijazah sebagai simbol keberhasilan pendidikan menyebabkan banyak peserta didik dan lembaga pendidikan berfokus pada pencapaian formal, bukan pada penguasaan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan riil pasar kerja.
Selain itu, struktur ekonomi di Manggarai belum berkembang secara merata. Lapangan kerja masih didominasi oleh sektor pertanian tradisional, perdagangan kecil, serta jasa informal. Walaupun sektor pariwisata dan industri kreatif mulai bertumbuh, kapasitasnya dalam menyerap tenaga kerja lulusan perguruan tinggi masih sangat terbatas. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara jumlah lulusan berpendidikan tinggi dan peluang kerja yang tersedia di daerah.
Faktor lain yang turut memperparah situasi ini ialah minimnya kolaborasi antara lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan dunia usaha. Pola kerja sama yang bersifat jangka pendek belum mampu membangun sistem link and match yang berkelanjutan. Padahal, sinergi antara kampus dan dunia kerja dapat membantu menyesuaikan kurikulum, memperkuat pelatihan vokasional, serta membuka ruang magang dan penelitian terapan bagi mahasiswa.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Konsekuensi dari ketidaksesuaian tersebut cukup signifikan, terutama bagi generasi muda. Pertama, terjadi peningkatan pengangguran terdidik. Banyak lulusan sarjana tidak memperoleh pekerjaan sesuai bidang keahliannya dan akhirnya bekerja di luar bidang atau bahkan menganggur. Hal ini menimbulkan kekecewaan sosial serta mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap nilai ekonomi dari pendidikan tinggi.
Kedua, muncul fenomena “brain drain” atau migrasi sumber daya manusia terdidik ke daerah lain. Banyak lulusan potensial dari Manggarai memilih merantau karena tidak menemukan peluang karier yang menjanjikan di daerah asalnya. Kondisi ini berdampak pada hilangnya potensi lokal yang seharusnya dapat mendorong pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Ketiga, mismatch ini juga mengakibatkan rendahnya produktivitas dan inovasi lokal. Minimnya tenaga kerja terampil membuat berbagai sektor potensial sulit berkembang. Banyak gagasan atau riset mahasiswa yang berhenti pada tahap wacana karena tidak tersambung dengan dunia usaha atau kebijakan pemerintah daerah. Akibatnya, pendidikan kehilangan fungsinya sebagai penggerak perubahan sosial dan ekonomi.

Arah Solusi dan Strategi Penguatan
Mengatasi mismatch antara pendidikan dan dunia kerja membutuhkan pendekatan sistemik dan kolaboratif. Beberapa langkah berikut dapat menjadi strategi awal perubahan.
Pertama, reorientasi kurikulum pendidikan. Lembaga pendidikan perlu mengintegrasikan kurikulum berbasis keterampilan dan kebutuhan lokal (context-based learning). Proses pembelajaran harus memberi ruang bagi mahasiswa untuk berlatih keterampilan praktis, berpikir kritis, serta berinovasi sesuai potensi wilayah. Di Manggarai, misalnya, program studi terkait pertanian berkelanjutan, ekowisata, atau wirausaha sosial perlu diperkuat agar lebih kontekstual.
Kedua, pembangunan jejaring kolaboratif antara kampus, pemerintah daerah, dan pelaku usaha. Model kerja sama yang terencana — seperti program magang industri, riset kolaboratif, atau teaching factory — dapat memperpendek jarak antara dunia akademik dan dunia kerja. Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam menyediakan dukungan kebijakan dan pendanaan untuk mengembangkan model kemitraan semacam ini.
Ketiga, pengembangan potensi ekonomi lokal sebagai basis pembangunan sumber daya manusia. Pendidikan harus diarahkan untuk memperkuat sektor-sektor unggulan daerah seperti pariwisata budaya, pertanian organik, dan industri kreatif berbasis kearifan lokal. Dengan demikian, lulusan pendidikan tidak hanya mencari pekerjaan, tetapi juga mampu menciptakan peluang kerja di lingkungannya sendiri.
Keempat, penguatan peran komunitas dan jejaring alumni. Alumni yang telah berhasil dapat menjadi mentor, narasumber, atau investor sosial bagi generasi berikutnya. Melalui pendekatan ini, proses transfer pengalaman dan pembentukan jejaring kerja dapat berjalan lebih efektif.
Refleksi dan Harapan
Permasalahan mismatch antara pendidikan dan dunia kerja di Manggarai sesungguhnya menggambarkan tantangan klasik pembangunan sumber daya manusia di daerah. Namun, tantangan ini juga membuka peluang untuk berbenah. Pendidikan harus dipahami bukan hanya sebagai sarana memperoleh pekerjaan, tetapi sebagai proses pembentukan kapasitas manusia untuk berkontribusi terhadap perubahan sosial dan ekonomi.
Jika semua pemangku kepentingan — pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dunia usaha, dan masyarakat — bersinergi, maka jurang antara sekolah dan dunia kerja dapat dijembatani. Manggarai memiliki potensi besar: sumber daya alam yang kaya, budaya yang kuat, dan generasi muda yang cerdas. Yang dibutuhkan kini adalah jembatan yang menghubungkan pengetahuan dengan praktik, teori dengan tindakan.
Dengan membangun jembatan itu, pendidikan tidak lagi berhenti pada pencapaian gelar, tetapi menjadi fondasi bagi kemandirian, inovasi, dan kesejahteraan masyarakat Manggarai.