
Budaya memiliki peran besar dalam membentuk perilaku sosial masyarakat, termasuk dalam hal kesetaraan gender. Dalam budaya Indonesia, khususnya pada budaya masyarakat Jawa, terdapat konsep nrima yang arti singkatnya itu menerima.
Menurut Panggabean dkk. (2014), nrima sebagai bagian dari filosofi Jawa dipandang sebagai nilai positif yang tercermin dalam ketenangan, sikap tidak tergesa-gesa, serta penerimaan atas segala keadaan hidup, yang kemudian menumbuhkan sikap positif lain seperti toleransi. Dalam pemahaman masyarakat, konsep nrima sering disebut juga dengan istilah nrima ing pandum, yang memiliki arti menerima segala pemberian apa adanya tanpa menuntut yang lebih dari itu.
Sudaryanto (2005) menjelaskan bahwa nrima ing pandum (NIP) berarti menerima ketentuan hidup dengan keikhlasan. Ungkapan ini mencerminkan pandangan hidup,bahwa orang jawa merupakan pribadi yang memiliki kemampuan untuk ikhlas, menerima apa adanya, berkomitmen, sabar, dan berbudi luhur. Namun, di sisi lain, nilai ini juga kerap menjadi tuntutan sosial yang lebih kuat bagi perempuan. Jati (2016) menyatakan bahwa perempuan sering diharapkan untuk lebih sabar, tidak banyak mengeluh, dan menahan diri demi menjaga nama baik keluarga serta keharmonisan rumah tangga.
Sementara itu, dalam budaya Jepang terdapat konsep Yamato Nadeshiko, yaitu gambaran perempuan ideal Jepang yang harus lemah lembut, anggun, patuh, berperilaku sopan, dan mendukung laki-laki. Istilah tersebut bersumber dari bunga nadeshiko (Dianthus Superbus) yang merepresentasikan kecantikan yang sederhana dan kemurnian. Konsep ini berasal dari nilai konfusianisme yang mulai berkembang pada zaman Tokugawa dan mencapai puncaknya pada zaman Meiji. Menurut Saitoh (2021) meskipun telah terjadi perubahan zaman, nilai-nilai yang melekat pada Yamato Nadeshiko tetap menjadi standar sosial bagi perempuan Jepang.
Menurut Jati (2016), nrima ing pandum tidak hanya bermakna sebagai ajaran spiritual,tetapi juga berperan sebagai mekanisme sosial yang mengatur peran dan perilaku perempuan dalam kehidupan masyarakat Jawa. erempuan dianggap ideal ketika mereka memiliki sikap sabar, patuh, dan tidak menuntut banyak hal. Karena pengaruh nilai tersebut, perempuan kerap diajarkan untuk menerima ketidakadilan sosial dengan ikhlas, seolah-olah hal itu merupakan kondisi yang normal.
Sementara itu, Saitoh (2021) menyatakan bahwa konsep Yamato Nadeshiko telah lama merepresentasikan citra ideal perempuan yang dipandang menjadi standar feminim oleh masyarakat Jepang. Perempuan dianggap ideal ketika mampu mendukung laki-laki, berperan sebagai istri dan ibu yang baik, serta tidak menonjolkan dirinya di ruang publik. Meskipun kini banyak perempuan Jepang yang berkarir,tetapi tuntutan sosial terhadap citra feminin tradisional masih sangat melekat.
Sebagaimana dijelaskan Doi (1973) lewat konsep amae 「甘え」, masyarakat Jepang membangun relasi sosial berdasarkan rasa saling bergantung dan pentingnya menjaga harmoni. Dalam konteks ini, perempuan yang mencerminkan citra Yamato Nadeshiko dianggap ideal karena sesuai dengan harapan sosial, yakni dengan menunjukkan kelembutan, menghindari pertentangan, serta mendukung terciptanya hubungan yang harmonis.
Kedua konsep budaya ini dapat kita lihat secara konkret dalam kehidupan sehari-hari perempuan di Indonesia dan Jepang. Dalam masyarakat Jawa, nilai nrima ing pandum sering muncul dalam konteks rumah tangga. Berdasarkan penelitian Hayati et al. (2011), perempuan di pedesaan yang mengalami kekerasan domestik sering kali memilih diam dan tidak melapor, sebab mereka berpegang pada pandangan bahwa “perempuan yang baik” harus sabar dan menerima keadaan demi menjaga nama baik keluarga.
Pandangan seperti ini mendorong perempuan untuk menahan diri dan lebih memilih diam, meskipun mereka berada di posisi yang tidak adil. Disisi lain, dalam masyarakat jepang pandangan seperti ini dapat dilihat melalui Yamato Nadeshiko, perempuan yang sudah menikah dituntut untuk memprioritaskan peran perempuan sebagai istri dan ibu yang penuh pengabdian serta mengutamakan harmoni rumah tangga. Sehingga banyak perempuan yang akhirnya berhenti bekerja setelah menikah atau melahirkan karena adanya tekanan sosial untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga yang ideal.
Padahal pemerintah Jepang sudah meluncurkan kebijakan Womenomics untuk mendorong partisipasi ekonomi perempuan, akan tetapi masih banyak perempuan yang tetap menghadapi diskriminasi terselubung jika mereka dianggap terlalu berambisi di tempat kerja. Mereka seringkali dipandang “tidak feminim” jika tidak sesuai dengan citra tradisional yang telah menjadi idealitas (Saitoh, 2021).
Pada dasarnya, nrimo ing pandum maupun Yamato Nadeshiko muncul sebagai prinsip budaya yang berfungsi untuk menciptakan dan mempertahankan keharmonisan masyarakat. Dalam budaya Jawa, nrima dimaknai sebagai keikhlasan dan menerima takdir, sedangkan dalam budaya Jepang, Yamato Nadeshiko menggambarkan tentang sosok perempuan yang anggun dan mendukung laki-laki.
Walaupun keduanya berasal dari konteks budaya yang berbeda. Namun, keduanya memiliki kesamaan ketika dilihat dari perspektif gender, keduanya memperlihatkan pola serupa yaitu sama-sama menormalisasikan peran perempuan sebagai pihak yang harus sabar, tidak melawan, dan menerima keadaan demi menjaga keharmonisan sosial.
Dalam keluarga Jawa, perempuan dituntut untuk manut (patuh) kepada suami dan keluarga besar, sedangkan budaya Jepang menempatkan perempuan dalam posisi pendukung laki-laki, bukan sebagai pemimpin. Meskipun konteks budayanya berbeda, keduanya menghasilkan dampak sosial yang serupa, yakni membatasi ruang gerak, suara, dan ekspresi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, budaya ini bisa memperkuat ketidaksetaraan gender.
Kedua budaya tersebut memperlihatkan bahwa ketimpangan gender tak selalu muncul secara kasar, tetapi bisa tersembunyi di balik nilai-nilai yang dianggap luhur. Sifat sabar, lembut, dan patuh memang dianggap sebagai cerminan perempuan ideal, tetapi jika dijadikan tolok ukur utama, nilai-nilai itu dapat berubah menjadi bentuk tekanan sosial yang membatasi kebebasan perempuan. Dalam masyarakat yang masih memegang pandangan tradisional, perempuan sering berada dalam posisi sulit antara mengikuti ekspektasi budaya atau mengekspresikan keinginan dan pendapatnya sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa budaya bisa menjadi pedoman moral, tetapi juga dapat memperkuat ketimpangan bila tidak dipahami dengan bijak.
Meskipun demikian,seiring dengan berjalannya waktu perubahan cara pandang terhadap peran perempuan semakin nyata. Di Indonesia dan Jepang, banyak perempuan berani menafsirkan kembali nilai-nilai tradisional dan mengartikannya secara lebih modern. Kelembutan dan kesabaran tidak lagi dipahami sebagai tanda kepasrahan, melainkan sebagai bentuk kekuatan dan kendali diri. Generasi muda perempuan tampil lebih percaya diri seperti halnya mereka mulai berani bersuara di ruang publik, berpartisipasi aktif, dan menuntut kesetaraan di rumah maupun di tempat kerja. Pergeseran ini menandai bahwa kesadaran akan kesetaraan gender kian mengakar dalam masyarakat modern.
Oleh karena itu, nrima ing pandum dan Yamato Nadeshiko sebaiknya tidak dipandang sebagai batasan, tetapi sebagai nilai budaya yang bisa ditafsirkan ulang sesuai perkembangan zaman. Dengan pemahaman yang lebih terbuka, nilai-nilai tersebut dapat menjadi dasar untuk membangun masyarakat yang lebih adil, saling menghormati, dan mendukung kesetaraan gender baik di Indonesia maupun di Jepang.
Melalui penafsiran ulang yang bijak, tradisi tidak perlu dihapus, tetapi diarahkan agar selaras dengan perkembangan zaman yang menuntut keadilan dan kesetaraan. Perempuan tidak lagi sekadar menjadi penjaga harmoni, tetapi juga penggerak perubahan dalam menentukan arah perubahan sosial. Dengan menggabungkan kearifan lokal dan nilai-nilai modern, baik Indonesia maupun Jepang memiliki peluang besar untuk menunjukkan bahwa budaya dan kesetaraan bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua kekuatan yang dapat berjalan beriringan dalam membangun peradaban yang lebih manusiawi dan setara.